Meninggalkan Indonesia pada hari Kamis, 22 Agustus 2019 pukul 17.00 WIB menuju Jerman. Kami sudah sampai di Abu Dhabi kira-kira pukul 23.30. Masih cukup waktu untuk transfer ke Swiss sebab pesawat akan terbang pukul 02.35.
Beberapa menit sebelumnya, kami chek email. Untung ada free wifii, bisa baca-baca. Kaget sekali, ada pemberitahuan dari maskapai Arab itu bahwa pesawat delay sampai pukul 05.00. Ya ampunnn. Lama sekali menunggu di bandara, kami harus bagaimana? Untuk masuk ke lounge berempat ramai-ramai, pastilah mahal.
Terkatung-katung di Bandara Abu Dhabi
Pesawat delay? Kami pun memutuskan untuk menunggu.
Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan, apalagi dengan situasi yang tak menentu. Tidak ada petugas yang ada di sana. Kami pun memutuskan untuk merebahkan badan di deretan kursi kosong di sebelah kanan, di mana ada tali pembatasnya. Alarm HP kami setting pukul 04.00, jadi cukup waktu untuk persiapan termasuk meregang gaya kucing, ke toilet, cuci muka dan sikat gigi.
Rupanya anak-anak mengikuti apa yang kami lakukan, hanya saja mereka merebah di lantai yang lebih luas di tengah-tengah, bukan yang nylimpet. Anak yang paling besar bawa selimut, nggak kedinginan sedangkan anak yang paling kecil bawa jaket, seperti nasehat saya waktu di Indonesia "Musim apapun, di pesawat itu selalu dingin, jaga-jaga bawa jaket tipis. Nanti selimut untuk menutupi bagian bawah badan." Yak, bermanfaat!
Para penumpang lain sudah terkapar tak berdaya di kursi-kursi keras dengan pembatas. Mata mereka sudah mulai tertutup. Oh, ngantuk-ngantuk ayam.
Beberapa anak kecil mulai rewel, meraung-raung dan meneteskan air mata. Memang repot kalau bawa anak di perjalanan yang jauh menyeberang lautan, daratan dan udara. Hari memang sangat panjang, perjalanan juga belum usai. Masih jauuuuuh sekali.
Kompensasi yang didapat Selama Delay
Dari menit pertama datang di gate 51 itu, saya sudah merasakan hawa dingin dan segera memakai jaket oranye yang sedari tadi hanya melingkar di pinggang. Suami yang tadinya mengolok-olok dan nggak bawa jaket, kedua tangannya dilipat. "Dingin, nih ye?" sentil saya.
Lama-lama, semakin banyak orang yang terkapar di lantai. Memang dengan posisi terbujur, tidur lebih nyaman dan nyenyak. Kalau di kursi, alamak, ditekuk seperti koran lecek! Saking capeknya berlibur keliling Indonesia, kami pun tertidur lelap.
Sayup-sayup terdengar suara dua perempuan berbahasa Inggris di telinga saya. Saya terbangun. Menengok jam tangan, ah, pukul 03.30. Si petugas berbaju pramugari sebuah airlines Arab berwarna coklat itu tampak cemas menelepon seseorang di seberang sana untuk menyediakan minuman.
Para penumpang yang gelisah dan marah bergantian menyampaikan keluhan "Kapan pesawat berangkat?", "Mengapa pesawat delay?", "Kok, tidak ada pemberitahuan dari awal?" Serem ya, jadi petugas. Beban mentalnya tinggi, harus panjang ususnya dan pandai menenangkan penumpang.