Nah, mesin biasa terdapat di depan pintu masuk (entah di luar atau di dalam ruangan). Karena biasanya saya suka lupa menukarkannya nanti-nanti kalau membayar belanjaan di kasir, saya biasa langsung menukarkan di info center atau di kasir, baru belanja. Kadang suka lupa, sih untuk menukarnya atau terjatuh kertas vouchernya entah di mana, saking asyik belanjaaaa.
Oh, iya. Ada juga toko yang memiliki mesin penukar botol yang memiliki dua pencetan; mau ambil voucher untuk ditukar uang atau mau disumbangkan kepada lembaga sosial. Ikuti kata hati. Daripada sok sial voucher hilang, memang kadang pencet untuk tujuan sosial juga lebih baik.
Nilai dari mesin tukar botol
Dari pengalaman saya yang orang Indonesia di mana management sampahnya belum bagus dan rapi, lalu pindah ke Jerman dan tiba-tiba harus terbiasa untuk memanfaatkan sampah botol (plastik, gelas dan kaleng), saya merasa ada nilai hak dan tanggung-jawab di sana. Bahwa kalau sudah membeli botol minuman dan meneguk isinya, tidak boleh lupa untuk menukarkannya demi mendapatkan hak uang kembali. Botol itu hak saya, uang saya! Namanya manusia, banyak yang berani berbuat nggak berani tanggung jawab.
Tanggung jawab saya pada bumi juga terjaga lewat mesin itu. Iya, melestarikan lingkungan dan tong sampah plastik di rumah tidak akan penuh. Mana mau saya membuang sampah yang bernilai, mengganggu lingkungan dan bahkan sampai merusak pemandangan? No way! Bisa kuwalat ping pitulikur.
Kalau sudah mengambil botol lalu mengembalikan pada tempatnya. Nilai kedisiplinan tersebut tampaknya bagus untuk diteladani oleh siapa saja dan negara mana saja.
Saya yakin mesin atau sistem tukar botol itu juga akan merangsang produsen minuman lainnya untuk berlomba-lomba memberlakukan botol yang tebal dengan barcode supaya bisa dipakai berkali-kali karena bisa ditukar. Selain menghemat bea pabrik pembuatan botol, juga pengeluaran energi penyumbang polusi udara dari pembuatan botol yang biasanya membutuhkan bahan bakar bumi, bisa lebih hemat.
Selain itu, negara yang peduli tentang lingkungan, akan mendapat kehormatan tersendiri di mata internasional. Dunia ini luas dan terbuka. Sekali tercemar, pasti digosipinnya nggak habis-habis di media (massa dan sosial). Maluuuu...pernah lihat instagram atau facebook orang bule yang pamer sampah di Bali atau tempat wisata Indonesia lainnya. Hedehhhh...nyesekkkk tapi itulah kenyataannya. Indonesia jangan kayak gitu lagi, please.
***
Denpasar sudah memasang di 25 titik di pasar, terminal, bank sampah sejak 2015. Jakarta sudah ada Ecojoss Junior atau Toma yang didatangkan dari Norwegia pada tahun 2016. Bagaimana dengan kota-kota lain di Indonesia? Adakah investor yang tertarik untuk mengembangkan mesin-mesin ini ngetrend di bumi nusantara dari Sabang sampai Merauke? Harga satu mesin kira-kira 25.000 euro, produsennya selain Norwegia adalah...Jerman! Ada yang mau jadi investor?