Senang rasanya ketika seorang teman di tanah air memberitakan bahwa sejak 1 Maret, toko-toko tak lagi menggratiskan kantong plastik belanja. Wacana itu memang sudah lama digembar-gemborkan sejak 2016. Sekaranglah saatnya. Selamat, Indonesia!
Meskipun demikian, saya berpikir lagi, apakah kantong plastik harus beli itu akan mengatasi permasalahan sampah khususnya plastik di tanah air? Ingat, Indonesia sangat disorot media massa internasional dan beragam media sosial. Keburukan sistem penanganan sampah, tabiat dan kebiasaan orang membuat pulau sampah plastik di perairan Indonesia, sepertinya masih memalukan.
Karena tinggal di Jerman, saya mencontoh bagaimana penduduknya menangani masalah sampah plastik dan mengubah kebiasaan buruk.
Jangan nyampah
Memang tak ada gading yang tak retak. Sempat terkejut ketika bulan lalu sebuah stasiun TV memberitakan bahwa Jerman sedang kebingungan kebanyakan sampah plastik. Sampai pihak China yang biasa bisa menerima, mulai membatasi pasokan sampah plastik. Meski sudah banyak perusahaan daur ulang dan sistem yang rapi dari rumah tangga sampai ke pabrik, tetap saja harus ada solusi lain; Jerman harus mengurangi penggunaan plastik.
Saya sudah pernah posting artikel tentang garpu, sendok, gelas dan piring plastik sekali pakai untuk pesta, akan segera hilang dari peredaran di bumi ribuan puri itu.
Saya optimis bahwa Jerman akan berhasil mencapainya sampai tahun 2030. Melihat total pemakaian kantong plastik dari tahun ke tahun selama 10 tahun terakhir, bukan semakin banyak tetapi justru semakin berkurang.
Itu sebuah prestasi yang tak hanya berasal dari kebijakan pemerintah tetapi juga dukungan seluruh masyarakat; buang sampah di tempatnya dan mengurangi produksi sampah semaksimal mungkin. Jangan nyampah, deh.
Pasti sudah ada yang tahu, pemerintah Jerman mengharuskan setiap rumah tangga untuk memiliki tong-tong sampah (terpisah). Salah satunya, tong sampah warna hitam bertutup kuning khusus untuk plastik.
Lalu tong biru tutup biru untuk sampah kertas atau tong coklat tutup coklat untuk sampah basah, masyarakat tidak dipungut iuran sama dengan sampah plastik karena sampah-sampah itu bisa didaur ulang. Sedangkan sampah lain yang butuh ekstra diatur seperti sampah campuran dan sampah pembalut (bayi dan orang tua) harus bayar. Besarnya tong sampah tergantung berapa jumlah anggota keluarga yang tinggal. Semakin banyak anak, semakin besar tongnya. Karena semakin banyak yang makan, sampahnya ikut banyak dari belanja.
Awetnya tas belanja yang dijual toko Jerman
Sejak kedatangan pertama kali ke Jerman sampai dengan hari ini, kami suka berbelanja kebutuhan sehari-hari dengan keranjang lipat. Itu meniru kebiasaan mertua dan orang Jerman yang kami kenal. Jika saya harus naik bus, saya bawa kantong dari kain, rami atau dari parasut di dalam tas tangan.
Nantinya, saya mengangkut barang belanjaan sampai ke halte bus dengan aman. Bayangkan kalau pakai kantong plastik tipis, bisa lahirannn di jalan.
Nah, ternyata toko dan swalayan di Jerman sudah banyak yang ramah lingkungan. Tas kantong plastik misalnya, bahannya sangat kuat karena tebal dan bisa dipakai beberapa kali. Tertulis pula Di sana bahwa mereka mendukung program ramah lingkungan dunia. Selain itu, tas kain juga dijual retail dengan harga 1 euroan. Yang dari bahan tisu dan berupa keranjang lipat juga banyak. Tinggal pilih. Letaknya ada di bawah meja kasir. Bisa ambil sendiri dan nanti dihitung oleh kasir ketika ia menghitung total pembelanjaan.
Toko baju seperti H&M misalnya, kasir akan menanyakan apakah pelanggan membutuhkan kantong belanja," Brauchen Sie eine Tuete?" Ada yang dari kertas, ada yang dari plastik tebal.
Biasanya saya tegas menjawab tidak, "Nein, Danke." Mengapa? Karena memang di dalam tas tangan saya selalu ada lipatan tas parasut atau tas kain. Ringan dan praktis. Bagaimana dengan Anda? Berani menerima tantangan?
My bag is your bag
Tantangan itu sudah saya berikan kepada beberapa teman-teman dan kenalan di Indonesia. Mereka harusnya mulai berani bilang "tidak" jika ditawari tas kantong plastik saat berbelanja.
Mereka itu tersebar di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Lombok, Pontianak, Flores dan Semarang. Jika Anda salah satu dari mereka, Anda beruntung. Kalau belum, Anda belum beruntung, coba lagi.
Kantong-kantong gratisan yang saya kumpulkan dari teman, tetangga, saudara dan suami yang sering ke pameran dan mendapatkannya.
Untuk dana, sengaja saya meminta bantuan orang yang mau memberi hadiah ulang tahun saya di bulan Januari, untuk mengalirkannya sebagai dana segar demi pengiriman paket. Cara itu sudah saya mulai sejak pertama kali pulang dari Jerman setelah kepindahan dari Indonesia.
Pikir saya, orang Jerman hanya bawa satu-dua tas kain saat bepergian atau berbelanja, sisanya sayang sekali kalau hanya menghuni lemari dan tidak berguna. Kalau diberikan kepada orang Indonesia, pasti bermanfaat dan menginspirasi untuk tidak menggunakan kantong plastik. Selain plastik susah hancur secara alami, sistem daur ulang sampah di Indonesia menurut saya, belum serapi di Jerman.
Ketiga, supaya ada impian yang saya titipkan pada siapapun yang beruntung mendapatkan tas-tas tersebut; banyak jalan menuju Jerman.
Gambar-gambar dan tulisan-tulisan berbahasa Jerman itu semoga membuat siapapun yang belum pernah ke Jerman, sedikit berfantasi "Wah, serunya Jerman. Mau terbaaaaanggg ...."
***
Dengan kebiasaan baik Jerman, semoga kita meneladaninya. Jangan pula kalah dengan negara-negara Afrika seperti Rwanda dan Kenya. Mereka begitu mantul dengan program nge-ban plastik di negaranya. Belanja pakai kantong plastik? Minta ditutug polisi Afrika yang razia ke sana-ke mari sampai blusukan pasar. Serem, ampun oooommm.
Jika memang Indonesia berminat dan niat, pasti bisa. Untuk itu dengan aturan harus membayar kantong plastik jika berbelanja yang sekarang mulai berlaku, saya usul supaya toko dan swalayan segera sekalian saja mengganti dengan tas kain atau keranjang yang lebih awet dan ramah lingkungan ketombang tas plastik berbayar. Mungkin harganya sedikit mahal dari kantong plastik yang hanya ratusan rupiah, tetapi lebih efisien dan lebih berjangka panjang. Toh itu bisa jadi ladang bisnis baru mereka yang kreatif pula. Bagaimana menurut Anda? (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H