"Aku tahu kamu ada di sini, kamu suka yang manis-manis?"Matanya melirik Mousso Schokola, puding coklat Perancis di dalam gelas seupil.
"Haaaa ... jahat, aku kaget. Kok, mendadak di sini?" Saya mau ngakak karena baru tahu suami mengamati saya dari jauh dan mendekati saya tanpa aba-aba. Sungguh mengagetkan.
"Ayo, kita ke pak dubes. Kamu harus foto bersama, mumpung ketemu" usul suami saya. Sayanya meringis.
Tangan saya digandeng. Badan saya yang kecil mudah hilang ditelan kerumunan orang-orang yang rata-rata bertubuh jangkung. Maklum, orang Eropa. Mungkin belahan jiwa saya itu takut saya hilang di antara ratusan orang yang antri makanan, saya harus dibimbing. Ya Allahhhh panjang antrian untuk makanan nusantara ... seperti jaman Belanda antriannya.
Langkah kecil saya mengikuti jangkahnya yang lebar. Begitu hampir dekat dengan meja pak dubes, saya menggeleng.
"Bapak sedang makan, nggak boleh."
"Ah, iya .. ya ... ngganggu." Matanya mengawasi piring yang sedang dinikmati pak dubes. Untung saja suami saya nggak ngiler karena ia sudah makan kebanyakan jajan pasar bikinan diaspora di Jerman, sebelum makan besar tadi.
Kami mendekat ke meja bundar yang dikelilingi ibu-ibu dari Indonesia. Pak Prof. Muliaman Hadad, P.hD dubes RI di Swiss yang mulanya ada di tengah-tengah mereka, menuju kursi depan panggung karena acara akan segera dilanjutkan. Kami mengikuti langkah beliau. Begitu beliau duduk, saya mendekat untuk menyapa dan meminta foto. Klik, jadi.
Beberapa menit kemudian datang seorang pria berjas rapi mendekat.
"Pak Arif, ini ada diaspora dari Jerman...." Pak Prof.Muliaman mengenalkan saya.
Saya jabat tangan beliau.
"Saya Gana, pak dubes, dari Semarang. Saya baca, bapak lahir di Semarang." Saya mendongak. Pak dubes tinggi sekali badannya dan saya terlalu mini.
"Semarangnya di mana?" Dubes berkacamata frame hitam itu balik bertanya. Beliau nggak jadi duduk.
"Pedurungan." Kepala saya sedikit mengangguk untuk memberi hormat. Di Jerman mana ada, model kepala menunduk?
"Ooo ... ibu saya ada di Pandean Lamper." Pak dubes tersenyum.
Pikiran saya melayang pada Semarang, kota kelahiran kami yang ngangeni. Semarang kota ATLAS.
Sayang, MC sudah meminta semua tamu untuk kembali menempati kursi. Acara akan segera dilanjutkan. Kami pikir, sebelum duduk, saya harus foto.
"Bisa minta foto bersama, pak?" Saya beranikan diri untuk bertanya.
"Boleh, di sana saja, yang backgroundnya bagus." Tangan pak dubes menunjuk satu arah, memberi saran supaya kami pindah dari kursi tempat beliau duduk ke depan gambar Borobudur.
"Oh, iya, biar gambarnya bagus ya, pak?"
Sebelum pak dubes kembali ke tempat, saya ucapkan terima kasih. Saya serahkan buku tentang Jerman yang saya tulis.
"Wah, bagus. Coro Jowo? Nanti biar dibawa ibu saja, ya? Sudah kenal ibu, belum? Ibu dari Solo."
"Belum, pak." Saya mengikuti beliau untuk menyalami istri pak dubes, Bu Sartika, lalu pergi karena para tamu sudah memenuhi kursi lagi pertanda acara akan segera diteruskan lagi.
Kami pun kembali ke tempat duduk semula. Barisan paling depan di sayap kiri. Hanya berjarak 5 kursi dari kursi tempat duduk bapak dubes yang ada di tengah-tengah. Inilah berkah kalau berangkat lebih awal dari tamu lainnya. Satu jam sebelum acara dimulai. Halahhh .... baru tahu kalau acara diubah dari pukul 18.00 seperti tertera dalam brosur awal yang dibagi mbak Andi, menjadi pukul 18.30 dalam daftar acara yang ada di meja.
Betul kata dubes LBBP RI untuk Hungaria 2014-2018, Y.M. Dra. Wening Esthyprobo Fatandari, M.A. dalam edan WhatsApp beliau. Kesan pertama saya pada dubes RI yang baru; ramah, presentatif, muda, chic, cerdas, pintar dan enerjik. Maklum beliau masih 55 tahun.
Kedua, pak dubes sangat mencintai dan menghormati pasangan hidupnya. Contohnya pada akhir acara, beliau didaulat menyerahkan rangkaian bunga kepada para penyaji seperti Balawan dari Bali, grup Tari Saman dari Muenchen dan tim kesenian KBRI Berlin. Tak disangka ketika pak dubes menerima bunga dari MC, pejabat muda itu memindahtangankan pada sang istri supaya diteruskan pada mereka. Speechless.
Yang menarik dari dubes RI untuk Jerman yang baru ini adalah, sebelumnya pria kelahiran 1963 itu pernah menjabat sebagai dubes RI untuk Belgia. Di sanalah, lulusan Fakultas Hukum UNDIP dan Universitas Harvard USA itu memberikan hadiah sebuah komik Tintin kepada Raja Albert II saat menyerahkan surat kepercayaan presiden RI yang mengutusnya untuk memimpin KBRI di Berlin. Itulah sebabnya, Yang Mulia Bp. Arief Havas Oegroseno ,S.H, LL.M dijuluki sebagai "diplomat Tintin."
Mengapa komik itu? Bukan sembarang komik karena ada cerita tentang Indonesia di dalamnya. Sebuah pesan khusus dan istimewa demi mengingatkan betapa negara kita sangat kaya, luhur dan indah tiada tara lewat The Adventures of Tintin: Flight 714 to Sydney. Jika Tintin saja sudah banyak tahu tentang Indonesia, tanah tumpah darah kita, kita nggak boleh kalah sama dia. Janji, ya, tenan-teman; merah- putih dan garuda di dada.
Di sini saya mau titip pesan, siapa tahu beliau membacanya karena artikel saya terdahulu tentang workshop bahasa Indonesia di Konstanz yang didukung KBRI, dibaca oleh Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Berlin Dr. Achmad Sofi tahun lalu. Ketika bertemu di Berlin Oktober lalu, direspon secara lesan, malah saya yang lupa.
Semoga dengan ditempatkannya dubes yang baru, memberi semangat baru bagi diaspora di Jerman. Karena diaspora adalah tangan- tangan kecil dari utusan negara seperti beliau, semoga beliau benar-benar menjadi bapak bagi kami, diaspora di Jerman. Janji, ya, pak; ing ngarso sung tuladha, ing madya Mangun karsa, tut wuri Handayani. Bapak adalah pemimpin kami, pendamping di saat kami butuh dan motivator ketika kami jatuh. Selamat datang di Jerman dan menuaikan tugas negara sejak 8 Mei 2018.(G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H