Saya jabat tangan beliau.
"Saya Gana, pak dubes, dari Semarang. Saya baca, bapak lahir di Semarang." Saya mendongak. Pak dubes tinggi sekali badannya dan saya terlalu mini.
"Semarangnya di mana?" Dubes berkacamata frame hitam itu balik bertanya. Beliau nggak jadi duduk.
"Pedurungan." Kepala saya sedikit mengangguk untuk memberi hormat. Di Jerman mana ada, model kepala menunduk?
"Ooo ... ibu saya ada di Pandean Lamper." Pak dubes tersenyum.
Pikiran saya melayang pada Semarang, kota kelahiran kami yang ngangeni. Semarang kota ATLAS.
Sayang, MC sudah meminta semua tamu untuk kembali menempati kursi. Acara akan segera dilanjutkan. Kami pikir, sebelum duduk, saya harus foto.
"Bisa minta foto bersama, pak?" Saya beranikan diri untuk bertanya.
"Boleh, di sana saja, yang backgroundnya bagus." Tangan pak dubes menunjuk satu arah, memberi saran supaya kami pindah dari kursi tempat beliau duduk ke depan gambar Borobudur.
"Oh, iya, biar gambarnya bagus ya, pak?"
Sebelum pak dubes kembali ke tempat, saya ucapkan terima kasih. Saya serahkan buku tentang Jerman yang saya tulis.