Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Nggak Mengeluh Berarti Memuji"

20 September 2018   14:26 Diperbarui: 20 September 2018   14:58 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Nicht meckern ist Lob genug oder nicht gemeckert ist genug gelobt (nggak ada yang mengeluh berarti dapat pujian). Peribahasa di dalam masyarakat daerah Blackforest Jerman itu sudah lama saya dengar tetapi belum saya pahami karena saya lebih menganut paham "pujilah orang dengan ikhlas, kalau ia memang telah melakukan sesuatu yang baik dan itu menyenangkan yang dipuji dan hati kita." 

Pengalaman memuji dan dipuji orang

Yaoloh. Bukan berarti harus mengada-ada lho, ya. Ada orang dandan cantik, terus kitanya muji "Wow, kamu cantik kayak Sophia  Cilukba." Itu ironi karena yang cantik namanya Sophia Latjuba. Sophia Cilukba itu dakocan. Dan mungkin kalimat itu dianggap orang sebagai sanjungan yang mengawang-awang sambil bilang "Lihatnya dari Monas pake sedotan kali, ye?", karena si empunya wajah memang cantik tapi nggak mirip blas sama Sophia Latjuba. 

Cukup mengatakan, "Wow, kamu cantik sekali hari ini", saya rasa sudah bagus. Saya pikir itu juga menyenangkan orang yang dipuji dan kita yang memuji akan mendapatkan reaksi positif, bukan euphoria acara balang sandal.

Pengalaman saya dengan pempraktekan peribahasa tersebut sering saya alami sejak tinggal pertama kali di Jerman. Berawal dari orang-orang terdekat waktu itu yang ya ampun, nggak pernah mengeluarkan kalimat pujian sampai hari ini. Jika tiba-tiba suatu hari mereka nggak mengeluh dan nggak membanding-bandingkan, itu sudah sebuah mega pujian!!!Oooo ... ngono, akuorapopo.

Begitu pula saat menjadi guru bagi lansia Jerman yang rata-rata umuran 60-80 tahun itu, kultur mereka masih lama meskipun saya tahu mereka sudah banyak beradaptasi dengan dunia internasional lewat perjalanan keliling dunia alias holiday/Urlaub. Meski jadi guru muda mereka, mereka menghormati saya, selalu tutup mulut ketika saya tanya, "Ini hari  terakhir semester kita, ada kritik dan saran untuk semester depan setelah liburan? Saya memerlukannya supaya kelas kita semakin  hidup dan saya maju dalam mengatur proses mengajar dan belajar kalian."

Umpan baliknya? Misalnya, hanya satu nenek yang bilang"Mohon diberi waktu pelajaran phonetic supaya kami bisa bagus pronunciation-nya." Sayang, kebanyakan yang lain hanya menggelengkan kepala. Setelah kelas hening, seorang kakek berseru, "Wir sind Schwabe, nicht meckern ist Lob genug." Menjadi orang Schwabia, membuat mereka susah untuk memuji karena kalau nggak memuji itu sama saja dengan nggak mengeluh atau sudah puas. Lahhh, saya yang  mau nggeblak. Budaya yang aneh tapi nyata.

Pilih Mana: Mudah Mengkritik atau Mudah Memuji?

Ada beberapa orang yang lebih mudah untuk mengkritik sejak dini. Alasannya, supaya orang lain juga belajar menerima kenyataan. Dunia itu keras, seperti rollercoaster; kadang di bawah, kadang di atas, kadang salto sampai njegrak rambut kayak orang kesetrum. Hey, dunia itu luas, kelilingilah, jangan jalan di tempat. Kalau hari ini dibilang jelek, besok-besok harus berusaha lebih baik lagi dan seterusnya. Bukan patah semangat dan mati suri.

Yang disayangkan, orang yang mudah mengkritik juga lupa bahwa nggak ada manusia yang sempurna. Ketika satu jari menunjuk orang, empat jari menunjuk dirinya sendiri. Kalau sudah berani mengkritik tapi nggak bisa menunjukkan kalau bisa lebih baik, gubrak juga nggak, sih? Sami mawon, kan.

Cara mengkritik, saya kira juga nggak boleh sembarangan. Mengkritik yang membangun, mengkritik dengan suara, gaya  dan bahasa yang indah dan menyenangkan, atau mengkritik nggak mengada-ada nampaknya dipilih beberapa orang yang memiliki sensitivitas yang tinggi di relung hatinya. Nggak percaya? Coba tanya para pria yang macho tapi hatinya princess.

Kebalikannya, orang-orang yang mudah memuji, saya taksir adalah orang-orang yang hidupnya bahagia lahir-batin. Orang-orang itu akan bahagia jika melihat orang lain bahagia dan sedih ketika orang lain kesusahan. Ia menikmati hidup bak lihat pelangi siang-malam, yang kadang bikin orang iri "Ih, kamu kok nggak pernah sedih, sih?". 

Lebih jauh, ia termasuk orang yang banyak pengalaman hidup, mendapat hujan pujian dan penghargaan dari orang-orang di sekitarnya. Vice versa, ia juga banyak memuji orang yang ditemuinya, nggak jemu mengucapkannya kata per kata. Hidupnya juga bersemangat. Bukankah itu wonderful? Mari jadi wonderman atau wonderwoman  now or never. Yaiy, asyik!

Rasanya nggak enak jadi golongan orang yang nggak mudah mengkritik atau nggak mudah memuji dalam hidup yang pendek  ini lantaran kira-kira, itu termasuk golongan orang yang nggak tahu ia ada di mana, gragap-gragap alias in the middle of nowhere. Jangan, jangan sampai. Berekspresilah dengan baik dan siaga.

Mengulang budaya Jerman yang diam, nggak mengeluh atau mengkritik sudah sama saja dengan memuji, semoga menjadi catatan kecil bagi siapa saja yang ingin bertandang bahkan  tinggal di  Jerman Selatan. Ojo semaput terus kukut.

Itu juga menjadi acuan  kita bahwa membahagiakan orang lain itu mudah; pujilah seseorang dan tersenyumlah bersama-sama.

Selamat pagi, Jerman. Selamat siang, Indonesia! (G76)

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun