Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nggak Semua Pengungsi Jahat

11 Juni 2018   16:57 Diperbarui: 12 Juni 2018   11:39 2718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengungsi yang masuk ke Eropa.(Reuters/S. Zivulovic)

"Mbak, di Jerman banyak pengungsi, ya?" tanya seorang tamu dari Indonesia yang kami ajak ke Geisingen buat angkat junjung lemari beberapa hari yang lalu. 

"Lhooo, di kampung kami saja ada 70 orang dari Suriah, Erethrea, China, Afrika, apalagi se-Jerman ... Ada tuh camp-nya deket rumah. Mau dianterin?" jawab saya. Biasa, ngompori buat ingin tahu.

Mumpung kenal beberapa pengungsi di kampung kami, ke sana sudah nggak sungkan. Jadi bisa ngajak-ngajak untuk melihat keadaan mereka dari mata dan kepala sendiri.

Lebih jauh, ia tanya-tanya soal situasi dan kondisi kota kami sehubungan dengan kedatangan para pengungsi.

Image negatif
Saya mulai nyerocos. Pada tahun 2015, seorang pria ngamuk dengan pedang katananya di sebuah Cafe New Journal Tuttlingen. Sebabnya, ia marah disuruh pergi dari kafe. Setelah keluar, ia kembali lagi dan kaca serta pintu dirusaknya. Untung saja polisi segera datang dan memberi tembakan peringatan.

Sejak itu, saya mulai berhati-hati pergi sendirian ke kota, apalagi sampai malam.

Pada tahun 2017, seorang pria dari Pakistan ngamuk di kantor Pemda Landratsamt Tuttlingen. Alasannya, ia nggak mau dikembalikan ke negaranya karena izin asylum ditolak.

Sebelumnya sudah ada pria dari Afrika yang membuat teman-teman senegaranya demo karena sang pria harus dikirim pulang. Izin tinggal ditolak.

Tuttlingen adalah kota pusat alat kedokteran sedunia. Kota yang pernah dinobatkan sebuah koran lokal sebagai kota kaya karena penghasilan penduduknya dari sana sangat tinggi. Kota yang kalau sudah pukul 19.00 semua toko tutup dan sepi seperti kuburan.

Beberapa waktu yang lalu suami saya cerita, temannya ada yang ngasih kabar kalau ada seorang perempuan jogging di Hutan Rottweil. Ia kaget dicegat pria Afrika yang berteriak, "Money ... money ..." Kekerasan pun terjadi.

Rottweil adalah kota tua yang bangunannya masih terawat dan merupakan daerah asal anjing ras Rottweiler. Kota itu juga pernah dijadikan area pendudukan Bangsa Romawi pada abad pertengahan. Saya ingat, di sana juga ada restoran yang jual schnitzel segede kepala orang yang beratnya lebih dari 500 gram!

Dan banyak lagi kejadian dekat rumah kami yang membuat hati dag dig dug der dan prihatin.

Mengetahui kenyataan di atas, image negatif terhadap para pengungsi semakin bikin masyarakat Jerman sendiri jadi percaya nggak percaya. Lah iya, sudah boleh datang tapi seenak udelnya sendiri?

Itu dikuatkan dengan hasil studi Gatestone Institute yang menemukan bahwa terhitung sejak 2016 kriminalitas di Jerman meningkat. Bayangkan ketidaknyamanan yang terjadi di Jerman karena pembunuhan, kekerasan, sampai pelecehan seksual merajalela. Orang mulai kurang sreg terhadap para pengungsi, para perempuan mulai terancam.

Nggak aneh kalau telinga saya mendengar dengan jelas, "Ich mag keine Fluechtlinge oder Auslaender". Yang artinya, mereka sangat membatasi pergaulan dengan para pengungsi atau pendatang. Nggak suka pengungsi atau pendatang.

Kadang, saya ingatkan mereka, "Ich bin auch Auslaenderin". Mereka lupa kalau mereka juga berbicara dengan saya, seorang pendatang dari negeri Asia Tenggara. Hahaha ... langsung mak klakep. Iya, ya ....

Bahkan beberapa golongan masyarakat mulai menghubung-hubungkannya dengan keputusan Angela Merkel membuka pintu bagi para pengungsi. Gara-gara undangan itu, semua jadi menyerbu Jerman tapi kurang tahu diri dan menyesuaikan dengan tanah yang dipijak serta adat istiadat/aturan yang ada. Menyarankan supaya pintu dipersempit atau ditutup.

Image positif
Cerita nyata di lapangan tersebut di atas tentu menyedihkan. Hanya saja selalu ada dua mata sisi dalam sebuah koin. 

Setidaknya, apa yang dilakukan Mamoudou Bassama, pria dari Mali berumur 22 tahun adalah salah satu bukti, nggak semua pengungsi di dunia ini jahat. 

Tepatnya saat seorang bapak meninggalkan balitanya (4 tahun) sendirian di rumah untuk pergi ke toko dan bermain Pokemon Go di jalanan Paris. Namanya anak, nggak bisa diem, pasti usreg dan nyari-nyari orang tuanya dan ada saja yang dilakukannya. Sang anak naik balkon dan menggantung di pagarnya. Mau jatuh!

Meski salah satu pria tetangga apartemen sebelah memegang tangan anak, tetap nggak bisa menarik anak karena ada palang pembatas.

Dalam sebuah wawancara di sebuah channel TV, Mamoudou cerita waktu kejadian, ia sedang lewat mendengar teriakan banyak orang dan tertarik dengan apa yang terjadi. Pikirnya, "Saya harus berbuat sesuatu".

Tanpa berpikir panjang, ia naik lantai apartemen demi apartemen dari luar. Ya, seperti Spiderman dalam film Hollywood, kata orang-orang. Meski tanpa tangan yang bisa mengeluarkan jaring laba-laba, ia mampu menyelamatkan jiwa manusia. Menaiki balkon demi balkon dengan kosong dan tanpa pengaman.

Saking terpesonanya, presiden Macron berjanji akan memberikan kewarganegaraan pada Mamoudou yang datang ke Perancis tanpa dokumen lengkap itu. Bahkan ia ditawari internship selama 10 bulan di tim pemadam kebakaran Paris atas keberaniannya itu. Gajinya 600 euroan per bulan. Lumayan.

Mamoudou mengingatkan saya pada obrolan dengan beberapa penjual dari Afrika di sekitar menara Eiffel. Kesan pertama agak menakutkan tetapi sebenarnya hatinya princess. Mereka baik-baik, ramah dan saya yakin mereka bertekad ingin bekerja keras siang dan malam demi mengepulkan asap dapur. "Kalau nggak kerja, nggak makan."

***

Akhir kata, kisah Mamoudou itu bisa sedikit memberikan angin segar pada masyarakat di Eropa khususnya di Jerman, ada kok pengungsi yang baik hati dan suka menolong. Jadi, nggak semua pengungsi jahat. Jangan digebyah uyah, semua tak sama.

Begitu pula di Kompasiana, orangnya macam-macam ... ada yang baik dan ada yang bisa saja jahat. Sangat manusiawi. Selamat pagi. (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun