"Booom" Suriah, Jumat pagi 13 April 2018. Seratus rudal dilempar sengaja oleh Amerika Serikat dan sekutunya ke sana. Membayangkan betapa kehancuran sangat menyakitkan. Nggak hanya materi tapi nyawa taruhannya. Reruntuhan berserakan, darah berceceran di mana-mana, tangisan meraung-raung seharian, kematian menjemput, berita kehilangan di sana-sini. Kita bisa apa?
Sehari sebelumnya, TV dalam dan luar negeri menayangkan bagaimana serangan gas beracun di Suriah mengakibatkan korban yang diantaranya, anak-anak. Hidung wajah-wajah imut tak berdosa yang ditutup masker oksigen, demi menyambung nyawa.
Apakah perang dunia I dan II kurang cukup untuk memberi pelajaran pada manusia bahwa perang, apapun tujuannya sangat berdampak buruk secara lahirah dan batiniah di dunia? Belum kering air mata, belum hilang trauma dari perang sebelumnya, jangan ada perang dunia III. Oh, no. Stop it!
Di hari yang sama, barisan anak SD didampingi seorang guru tampak meninggalkan kami menuju ke arah pantai.
Di sebuah rel kereta, seorang pria berbaju tentara Polandia, tengah memberitahu bagaimana kereta itu digunakan pada jaman dulu. Jungkat-jungkit tangan para lansia di sana. Ah, langkah kami terhenti, mengamati gerakan yang menarik di depan mata.
"Mau coba?" Tanya si bapak pada saya. Kaki saya memang mendekat ketika para turis sudah turun dari kereta. Kepala melongok ke dalam kereta. Saya ingin melihat dari dekat. Ah, dasar selalu ingin tahu secara detil dan tentu ... gara-gara nggak bawa kacamata!
"Anak-anak mau?" Badan saya berbalik, mengarah pada anak-anak yang seolah malu campur takut naik kereta sama tentara.
Bagai mengucap mantra, saya motivasi mereka untuk ikut karena kesempatan emas nggak bakalan datang dua kali. Akhirnya, horeee ... semua ikut. Bapaknya juga nebeng. Dua pegang kemudi belakang dan satu pegang kemudi depan, saya motret dan bikin video. Seru. Hanya sebentar memang tetapi kenangan yang tak terlupakan.
Puas ditampar angin pantai yang masih dingin, kami mengikuti jalan setapak menuju sisa bunker-bunker tempat menyimpan amunisi.
Sebuah menara pengawas berdiri di seberangnya. Kaki-kaki kami segera menaiki tangga kecilnya menuju puncak. Di salah satu jendelanya, bekas tempat senapan (130 mm) pengintai jika musuh datang. Sayang, gardu kurang terawat karena banyak coretan di dinding, sampah seperti botol minuman dan kaleng berserakan.
Apalagi, OMG, bau tak sedap seperti anjing kencing! Huh. Pergi, kami segera pergi meninggalkan gardu.
Kami masuk. Banyak pikiran yang muncul berada di sana. Oh, waktu itu bagaimana rasanya berada di dalam gedung dan tertimpa batu atau kayu? Seberapa besar ketakutan dan kecemasan yang terjadi melihat semua mati, hancur dan terbakar? Ketika itu terjadi, siapa yang diingat? Tuhan? Kematian? Keluarga?
Ya. Sengaja gedung itu tidak diratakan dengan tanah, sebagai peringatan dan bukti kekejaman perang zaman itu.
Beberapa langkah ke depan, tampak menjulang ke langit, sebuah monumen untuk para korban perang yang mempertahankan wilayah Polandia. Westerplatte monumen namanya. Monumen yang menjadi peringatan bagi semua dan didirikan tahun 1966 untuk menghargai jasa para korban.
Serangan Jerman terhadap Polandia, sampai Polandia menyerah karena kekurangan amunisi dan memberikan wilayah Westerplatte kepada musuh. Mereka yang ditangkap masuk kamp konsentrasi NAZI di Stutthof. KZ? Saya pernah mengunjungi KZ di Dachau dekat Munich. Pasti serem dan sengsara jadi napi politik di sana.
Kami menuruni anak tangga, meninggalkan monumen. Melewati jajaran bendera Polandia dan EU.
Sebuah benteng mini berdiri di dekat pepohonan. Tertulis dibuat tahun 1911. Anak-anak sudah berlarian menuju bangunan tua yang menarik itu. Naik, lagi dan lagi.
Disebutkan dalam sebuah papan info di depannya, LS Bernard Rygielski bercerita bahwa pada tanggal 2 September 1939, di dalam bangunan ada sebuah mesin senjata ringan dengan satu tentara, dua orang tentara memegang mesin senjata berat dan ia, sebagai komandan.
Seorang tentara bertugas memata-matai pantai pada siang hari dan menguatkan panca indera pendengaran di kegelapan malam. Betapa lelahnya melawan kantuk, haus dan dahaga.
Di sebelah kiri bangunan adalah anak tangga dan sebuah pintu menuju ke bawah di sebelah kanan. Hal-hal yang dianggap anak-anak, lebih menarik daripada jejeran souvenir yang ada di sepanjang jalan di dekatnya.
Melewati sebuah lapangan, terpampang tulisan besar "Nigdy wicej wojny" atau jangan pernah ada perang lagi. Kami menganggukkan kepala, cukup sudah PD I dan II. Jangan ada seri III!!!
Jika ada yang mau seri tiga, silakan melihat deretan 15 makam di Westerplatte ini dan merenung di sana. Life is so short. A war makes it shorter. Hidup itu pendek, perang membuatnya lebih pendek.
Tertulis di batu nisan nama-nama yang gugur 2 September 1939. Misalnya Strzelece Wladyslaw Jakubiak, Kapral Bronislaw Perucki dan St.Strzelec Wladyslaw Ukraszewski. Di bagian tengah, hampir setinggi dasar lantai, ada batu bertuliskan Jendral Henryk Sucharski yang menyerahkan diri.
Matahari makin meredup, kami harus segera kembali ke kapal untuk menyeberang ke pusat kota.
Selamat tinggal, Westerplatte. Terima kasih telah mengingatkan kami bahwa perang menyisakan korban dan trauma. Jangan pernah ada PD III. (G76)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI