Konde oh kondeeeeee. Saya lihat berita demo soal konde, speechless.
Terus terang, konde-konde tradisional Indonesia dari beragam ukuran dan desain biasa saya boyong ekstra dari Indonesia ke Jerman kalau pas pulang. Lah iya, di Jerman mana ada yang bikin? Sekalipun ada yang jual, pasti mahalnya minta ampyuuun.
Konde? Ya, itu satu dari sekian senjata saya dalam memamerkan budaya tari Indonesia di seluruh dunia. Setidaknya, di 11 negara berawal dari Indonesia (tanah tumpah darah), lalu mulai umur 18 tahun berturut-turut di Philipina, Jepang, Nepal, Perancis, Denmark, Turki, Jerman, Spanyol, Hungaria dan baru-baru ini di Pakistan.
Di Pakistan saja yang mendeklarasikan diri sebagai negeri Islam (the Islamic Republik of Pakistan) dan mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Islam seperti di Indonesia, saya nggak dilarang, lho. Malah saya dipeluk-peluk orang (laki dan perempuan) sehabis saya menari (jaipong Bajidor Kahot) dalam sebuah pesta perkawinan yang super megah dihadiri ribuan orang baru-baru ini.
Lah kalau saya dilarang pakai konde, bagaimana saya mendandani rambut saya saat menari. Bukankah pakemnya dari dulu dari jaman nenek moyang (bahkan jaman raja-raja?), konde atau sanggul memang untuk didesain memperindah rambut wanita?
Ya, sudaaah, saya masih beruntung karena pakai konde di Jerman belum dilarang. Sekarang ini yang baru panas adalah pelarangan memakai burka, agak mirip di Austria. Desa mawa cara, nagara mawa tata atau tiap daerah punya aturan sendiri-sendiri.
Selanjutnya, saya pikir, apa yang tradisional belum tentu jadul, malu-maluin atau harus dihilangkan. Saya masih percaya, yang tradisional justru masih membanggakan dan mampu mengharumkan nama bangsa.
Taruh saja lurik, yang nggak nyangka bisa diangkat tinggi di negeri semodern dan semaju Jerman.
Adalah Lina Berlina. Perempuan Sunda kelahiran 1959 yang pernah saya ajak chat di FB beberapa waktu yang lalu. Mengapa? Karena saya gemas melihat youtube yang menggambarkan kiprahnya; mampu membanggakan negara dengan mendesain lurik menjadi barang tradisional yang mahal dan agung. Pameran-pameran yang diadakannya tak hanya jadi konsumsi diaspora WNI di Jerman tapi juga warga lokal bahkan asing. Nggak percaya? Coba cek belanja online www.linaberlina.de. Kereeeeen.
Perempuan yang memiliki dua putri cantik Stephanie Soraya dan Coelina Tiffannie itu sudah sejak 1993 tinggal di Jerman. Saya ingat banget pertama kali tinggal di Jerman rasanya ada post power syndrom. "Enaknya ngapain ya, di Jerman?" Mencoba beradaptasi dengan negara tempat ngenger dan mencari passion yang pas.
Perempuan kelahiran Bandung itu sebenarnya sudah sejak tahun 1992 menekuni dunia desainer tapinya masih memakai bahan batik, yang notabene jadi bahan baku para desainer Indonesia bahkan dunia.
Rupanya, mbak Lina berhasil menemukan keunikan passion-nya. Walhasil, kalau Perancis punya LV (Louis Vuitton), Indonesia punya LB. Ia menciptakan merk LB (Lina Berlina) yang disematkan pada produk seperti tas tangan, tas laptop, baju, rok, syal, topi, kemeja dan lain-lain. Bahannya sangat tradisional, LURIK! Wow banget. Proud of you, mbak. Ich bin sehr stolz auf dich, vielen Dank.
Di Jerman? Jangan tanya. Yang pakai cantik-cantik, ganteng-ganteng dan kaya-kaya. Harga satu tas dari mbak Lina bisa mencapai ratusan euro yang berarti jutaan rupiah. Bukan sembarang desain, lho yaaa.
Yang unik, saya amati dalam video-videonya, mbak Lina menggarap pamerannya dengan cinta. Menyatukan antara peragaan busana dan budaya. Lewat musik, tarian dan masakan khas dari Indonesia misalnya. Peragaan yang luar biasa, bukan semata untuk kepentingan pribadi tapi juga negara.
Hasil karya mbak Lina dipamerkan secara permanen di lantai I hotel Hilton Berlin dan di Gendarmarkt. Kerjasama yang tentunya diraih atas dasar saling percaya dan prestasi. Mbak Lina, andai dubes RI untuk Jerman suka ngasi penghargaan pada insan diaspora yang berbakat dan berprestasi untuk RI di negeri orang, pasti kamu sudah dapat award berapa, cobaaa?
Teman-teman, saya nggak mau jadi orang yang hanya berkeluh-kesah dan mengacungkan jari ke orang lain karena dituding salah ini dan itu. Berada di luar negeri sebagai bagian dari Indonesia, saya hanya ingat pepatah John F Kennedy "Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country." Diengggg .... Mak jleb, kaaan?! (G76)
P.s: Mbak Dinda alias Kompasianer Sri Subekti salah satu admin RTC, ini ngingetin kamu sama lurik Kudus, nggak? Semoga di kotamu masih banyak orang yang pakai. Jangan kalah sama orang Jerman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H