Ketika menikah dan pindah, suami melarang saya untuk mengerjakan pekerjaan tumah rangga sendiri. Ada lima orang asisten yang mengelilingi saya. Rasanya jadi serba salah karena pekerjaan rumah tangga sudah selesai tanpa campur tangan saya.
Senang dan sedih. Ketika suatu hari, saya pindah ke Jerman di mana saya harus hidup mandiri seperti kebanyakan orang Jerman. Di sanalah, saya mulai menerapkan ilmu yang saya dapat dari ibu saya. Di sisi lain, jauh dari orang tua, saudara, teman dan semua yang disenangi.
Karena selama hidup bersama ibu, terbiasa tanpa pembantu, saya merasa enteng mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendiri di negeri orang. Bahkan, ada perasaan enggan merepotkan mertua, tetangga atau teman dan lebih memilih suka mandiri. Mulai dari pekerjaan rumah tangga, membantu suami membetulkan genteng, renovasi rumah atau mengambil kayu di hutan.
Selama memulai semuanya dari nol, saya menerapkan didikan yang diperoleh dari ibu. Misalnya saya punya jadwal Kehrwoche untuk anak-anak. Tugas mingguan itu antara lain membersihkan gang dan anak tangga dari lantai tiga ke lantai dua, yang dilapisi karpet. Ada lagi tugas setiap dua hari sekali, membantu saya mengeluarkan alat makan dan minum dari mesin cuci piring ke dalam rak atau lemari. Hari Sabtu dan Minggu, anak-anak menyiapkan sarapan keluarga. Terakhir, membersihkan dan merapikan kamar tidur masing-masing sekali seminggu. Bahkan, anak yang nomor dua sudah tertarik untuk menyetrika sendiri dan memaksa untuk diijinkan mengerjakannya saat sudah kelas 4 SD. Biasanya, saya awasi di sebelahnya karena agak berbahaya dengan setrika yang panas, bukan? Saya sendiri trauma dengan cap setrika di paha saya. Waktu masih kelas 6 SD, menyetrika baju di lantai dan terlalu cepat gerakannya dan setrika meluncur ke paha. Mak nyoss.
Apa kebaikan lain ibu selain hadiah materi dan immateri? Saya kenang, ibu saya adalah sosok wanita yang luwes, beliau tidak pernah marah-marah, berteriak atau kasar secara fisik.
Cara ibu menasihati saya juga menyenangkan. Dengan cara beliau, saya menurut untuk tidak kuliah di Universitas terbuka melainkan di IKIP PGRI Semarang program malam hari (sekarang UPGRIS), di mana ibu juga menuntut ilmu bersama kakak yang nomor empat sampai empat tahun lamanya.
Mengapa ibu memaksa? Alasannya, ibu melihat jiwa saya yang mencintai anak-anak dan talenta mengajar yang mengalir dari orang tua serta bakat berbahasa Inggris yang terlihat sejak SMA. Setelah itu, ibu memberi dukungan 1000% saat saya kuliah S2 dengan bea sendiri.