Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Budaya Nyekar Masyarakat Jerman pada "Toten Sonntag"

4 Desember 2017   18:18 Diperbarui: 4 Desember 2017   19:41 2770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makam dirawat pada Allerheiligen dan Toten Sonntag (dok.Gana)

Tinggal di Blackforest Jerman, tampaknya satu keuntungan bagi saya. Mengapa? Tidak hanya bebas menghirup udara segar tanpa polusi karena alam masih sangat terjaga, hewan-hewan yang hidup di sekitar pun membuat hidup semakin luar biasa. Selain itu, banyak budaya dan tradisi yang bisa terlihat di dalam masyarakatnya.

Di kota-kota besar, biasanya banyak yang sudah terkikis, kadang sampai habis. Salah satunya, budaya nyekar. Hah, nyekar? Kok, mirip wong Jawa. Ternyata orang Jerman yang modern dan maju  masih memegang tradisi leluhurnya. Super!

Allerheiligen atau Mengingat Roh Kudus

Saya pernah cerita pada murid-murid bahasa Inggris bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim tetapi nyekar atau ziarah kubur sebelum Ramadan dan pada hari raya sepertinya menjadi tradisi semua orang tanpa membedakan apa agamanya.

Bagaimana dengan di Jerman?

Adalah Allerheiligen atau All Saints atau hari raya semua orang kudus yang diperingati mayoritas masyarakat Katolik di Jerman setiap 1 November. Hari yang berdekatan dengan Halloween (31 Oktober) itu rupanya juga hari penting bagi keluarga Jerman untuk mengunjungi makam leluhur, keluarga atau kerabat yang meninggal.

Selain merawat makam dengan mencabuti rumput dan tanaman yang mati, membersihkan daun, menyalakan lilin, menanam bunga baru atau dekorasi anyar juga mendoakan yang meninggal. Itulah pemandangan yang jamak terlihat di kuburan.

Rasanya, masuk kuburan Jerman tidak seseram di kuburan tanah air. Bulu kuduk berdiri bukan karena merasa ada makhluk halus lewat (kula nuwun) tapi karena.. dingin. Iya, kedinginan! Ya, ampun, Jerman itu ademe polll hari gini, teman-teman. Musim salju.

Toten Sontag atau Hari Kematian.

Oh, ya. Pemandangan yang menggambarkan kesibukan orang Jerman di makam juga terlihat di hari Minggu kematian atau disebut Toten Sonntag atau Ewigkeitsonntag. Tahun ini, jatuh pada hari Minggu tanggal 27 November 2017 yang lalu. Itu satu minggu sebelum advent Minggu, kemarin. Sebenarnya itu bukan hari libur resmi di Jerman tetapi hari yang sangat penting bagi umat kristen, sama pentingnya dengan Allerheiligen milik umat Katholik. Artinya, tetap ada penghormatan dari masyarakat bahwa hari itu harus still, tenang tanpa keributan musik, show atau sejenisnya.

Nah, pada hari itu peziarah tidak sebanyak pada Allerheiligen karena dikatakan hari itu hanya diperingati umat Evangelisch atau Kristen Protestan. Jumlah penganutnya tidak sebanyak Katolik tetapi peringatannya masih lestari.

Lihatlah beberapa orang mulai ziarah ke kuburan, merawat makam keluarga dengan bunga atau hiasan lainnya. Seperti biasa, gereja-gereja membuka pintu untuk mereka yang masih mau ikut missa (Gedenkgottesdienst). Tradisi yang dimulai sejak tahun 1816 oleh Raja Friedrich Willhem III dari Preussen.

Sepertihalnya kita orang Indonesia, saya pandang orang Jerman jadi ingat akan kematian. Ada pula yang takut akan kematian dan bersyukur masih hidup sampai hari ini. Bagaimana dengan kita?

Orang Mati di Jerman pun Diatur

Setelah berkeliling di makam-makam keluarga suami saya mulai dari oma, opa, tante, budhe dan keponakan, kami menuju ke tempat parkir. Dalam perjalanan pulang, kami melihat banyak tanda dari pengurus makam (Friedhofsverwaltung).

Yang pertama, gambar tempel warna hijau. Itu sebagai tanda bahwa kontrak makam sudah melebihi batas. Untuk informasi selanjutnya, keluarganya disarankan menyimak koran lokal pada bulan tertentu. Februari, misalnya.

Abu atau tulang mayat harus diambil (dok.Gana)
Abu atau tulang mayat harus diambil (dok.Gana)
Yang kedua, gambar tempel berwarna kuning. Itu artinya patok atau batu makam dalam kondisi yang rawan jatuh. Tanggung jawab keluarga orang yang meninggal adalah memperbaikinya. Caranya, menghubungi petugas yang khusus di bidangnya (Steinmetz, tukang batu).
Patok batu atau kayu harus diperbaiki (dok.Gana)
Patok batu atau kayu harus diperbaiki (dok.Gana)
Yang ketiga, gambar tempel berwarna merah. Dari warnanya saja, orang sudah tahu ada peringatan keras di sana. Iya, makam harus segera dibongkar karena kontrak 20 tahun selesai tapi keluarga tidak ada yang mengurusi setelah peringatan terdahulu (hijau) ditempel.

Jerman. Negeri di Eropa itu memang terkenal dengan aturannya yang banyak dan kadang njlimet dibandingkan dengan di tanah air Indonesia. Tetapi kalau dipikir, baik juga untuk mengatur orang banyak yang isi kepalanya beda-beda. Kalau semua orang sakenakudelnya sendiri, tidak peduli, bisa berabe. Apa kata dunia?

***

Baiklah. Apa yang bisa saya petik dari pengalaman mengamati budaya nyekar masyarakat Jerman, khususnya Toten Sonntag itu?

Supaya tetap melestarikan budaya ziarah makam leluhur di mana saja. Selain mengingatkan akan kematian bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, juga mendorong orang untuk selalu berkata, berpikir dan berbuat baik dan yang penting, menjaga silaturahim. Antara yang mati dengan yang hidup dan antara sesama(keluarga) peziarah, atau antara yang hidup.

Orang Jerman yang saya cermati kadang ada yang tidak mementingkan keluarga dibanding teman atau tetangga (yang masih hidup) saja, masih meninggikan budaya ziarah kubur. Kita yang memang dari sononya sudah dicetak untuk memiliki tradisi nyekar tidak boleh kalah dan harus melestarikannya. Jangan-jangan karena jaman sudah canggih, ziarah diwakilkan lewat skype atau facetime.

Kedua, aturan di dunia ini dibuat bukan untuk dilanggar tapi untuk diperhatikan dan ditaati. Memang kadang susah untuk disiplin dan taat peraturan tapi jalannya memang harus begitu biar tertib. Kalau yang mati saja diatur-atur, apalagi yang hidup? (G76)

Ps: "Das Licht der Liebe ist staerker als der Schatten des Todes", cahaya cinta lebih kuat dari bayang-bayang kematian karena hidup adalah sebuah hadiah dari Allah, entah sebentar atau panjang umur seseorang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun