Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gambaran Kesopanan Masyarakat Jerman saat Menggunakan Jalan

29 November 2017   18:10 Diperbarui: 29 November 2017   21:34 2822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Sudah lebih dari 10 tahun saya memegang SIM Jerman seharga 2000 euro yang bisa dipakai di EU. Sekali terkena speed trap, rasanya malu dan takut setengah mati. Meski hanya membayar 15 euro atau Rp 255.000,00 tetap saja, saya merasa gagal dididik berlalu lintas oleh Jerman. Dan foto yang dikirim oleh pemda lewat surat ke alamat kami itu, lhooo ... astagagaganaaaa. Uisiiiinnn, untungnya nggak sedang ngupil.

Ah, seingat saya, waktu itu saya lagi menstruasi. Biasa, ibu-ibu, hormonnya galau sebulan sekali, ditambah waktu itu ada masalah sedikit. Ya, jadinya menyetir nggak bisa konsentrasi. Melebihi batas 50 km/jam di kota, dengan 60 km/jam. Hahaha, Gana Schumacher, sungguh kapok. Lain kali, saya nggak boleh begitu. Nggak boleh! Titik.

Untuk orang Indonesia, cara berlalu lintas kebanyakan orang Jerman pasti dong, beda. Lebih disiplin. Selain memang SIM-nya super muahalll dan sulitz, aturannya banyak, rambu-rambunya dari A-Z ada (ingat rambu-rambu awas kodok, atau awas rusa?), dipasang di mana-mana. Di hutan juga ada, pucuk gunung dekat rumah saya? Ada!

Nah, selain disiplin, rupanya saya makin sadar bahwa orang-orang di Jerman tempat saya tinggal itu rata-rata saaaaangat sopan. Eh? Sopan?

Begini. Mungkin saja karena saya tinggal di kampung Jerman artinya bukan kota sebesar Berlin atau Hamburg, orangnya beda. Bisa jadi. Tetapi setidaknya orang-orang di sekitar saya itu sudah menunjukkan budaya yang baik yang patut saya teladani. Apakah itu?

Mengedipkan lampu

Kalau di tanah air ada anjuran menyalakan lampu di siang hari biar kendaraan terlihat, di Jerman sudah otomatis. Selain matahari tak rajin mampir di Jerman setiap hari, kalau lampu menyala sangat berguna bagi saya yang pernah sekali dua kali lupa kacamata rabun jauh. Mata saya tetap bisa melihat ada mobil lewat dan harus hati-hati. Kalau lampu kendaraan mati, saya yang tidak berkacamata seperti mimpi bahwa mobil yang ada di sekitar itu tidak bergerak alias berhenti atau parkir.

Nah, selain lampu menyala otomatis, orang di Jerman suka mengedipkan lampu kendaraan. Mengapa? Bukan karena naksir saya atau yang sedang mengendara dari arah yang berlawanan. Alasannya, itu sebagai kode bahwa "Silahkan kamu lewat dulu, aku yang tunggu dan berhenti di sini." Seandainya bawa megaphone atau pengeras suara di dalam kendaraan pasti bisa digunakan sebagai corong untuk menyampaikan pesan mereka. Lha, karena tidak ada, ya, pakai lampu. Dikedip-kedipkan dengan memencet on-off. Kejadian itu sering saya alami ketika jalan sempit/menyempit atau jalan pedesaan yang kanan-kirinya ladang, ternak dan lainnya.

Coba kalau di Semarang, misalnya. Kalau saya pulang kampung, ya Tuhan. Bunyi klakson sehari dengar berapa kali? Istilahnya, orang merasa paling berhak untuk menggunakan jalan karena mereka pikir itu miliknya, yang lain ngontrakkk. "Minggir, aku mau lewat duluan."

Di Jerman, biasanya bunyi klakson sangat jarang terdengar. Jika ada pun, misalnya ketika ada pawai pernikahan, mau menyapa tetangga yang sedang di luar rumah dan sejenisnya.

Melambaikan tangan

Yang ini, jelas tidak sama dengan lambaian tangan Ratu Elizabeth yang sebentar lagi mau ngunduh mantu. Lambaian tangan ini, ketika sopir atau yang menyetir kendaraan  menunjukkan satu telapak tangan di depan kaca. Itu setelah dipersilakan lewat duluan oleh kendaraan yang berlawanan, lewat kedipan lampu tadi atau saat mengendara dari arah bawah ke atas (yang biasanya, mobil yang dari atas berhenti dan menunggu, meski tanpa kedipan lampu).

Namanya Jerman, daerahnya banyak pegunungan, naik turun. Jalannya juga tidak rata atau banyak yang landai.

Sistem Resleting

Jelas tidak ada urusannya dengan celana tetapi Reissverschlussverfahren ini merupakan pelajaran mengemudi yang harus diketahui peserta yang mau lulus ujian SIM di Jerman.

Coba bayangkan, kalau ada anak balita yang menangis karena ia tidak menemukan resleting waktu mau pipis tapi pakai celananya terbalik dan resletingnya ada di pantat, pasti bingung kan?

Begitu pula ketika mengendara di jalanan Jerman. Jika tidak paham sistem resleting ini, lalu lintas jadi kacau. Artinya, setiap pengendara wajib sopan mengikuti sistem resleting, di mana garisnya satu-satu, tidak bersamaan. Jadi mobil dari kanan masuk dulu lalu yang dari kiri dan seterusnya. Kalau ada mobil yang mau masuk di jalur duluan, yang di belakangnya harus jaga jarak dan memberi kesempatan terlebih dahulu dan seterusnya. Yang dilakukan bukan mengebut untuk merebut posisi terdahulu/terdepan.

Hormati pejalan kaki

Diarrrrr, ini dia. Yang dari dulu sampai hari ini belum begitu jamak terlihat di tanah air (meski sudah terlihat satu-dua, sekali-dua kali). Sepertinya menghormati pejalan kaki di zebra cross atau garis penyeberangan, belum sedisiplin atau sesopan di Jerman khususnya (Eropa pada umumnya).

Di Jerman, sebelum sampai ke zebra cross, pengendara sudah ancang-ancang berhenti dulu. Artinya, bukan menyegerakan diri untuk melintasi garis supaya yang jalan yang menunggu, yang kendaraan bermotor yang menang. Tidak. Jadi tanpa lampu merah pun, mereka sudah tahu kapan kuning (ancang-ancang), kapan merah (berhenti) dan kapan hijau (melaju) ketika melewati garis penyeberangan. Bisa ditebak, pejalan kaki akan sangat nyaman melewatinya tanpa menoleh kiri-kanan sekalipun dan tidak akan ditabrak (lari) oleh kendaraan apapun.

***

Masih banyak gambaran kesopanan berlalin kebanyakan orang Jerman di sekitar saya tapi saya harus masak. Cukup sudah.

Dari cerita saya tadi, semoga membuat kita semua semakin sopan di jalanan Indonesia. Katanya orang Indonesia punya budi pekerti yang luhur dan budaya yang tinggi. Untuk hal sesederhana di atas saja, Jerman yang negeri modern dan maju bisa. Kita harus lebih bisa. Kalau tidak bisa, tenggelamkan. (G76).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun