Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Tetaplah Kerokan Sampai ke Negeri Jerman

25 November 2017   17:26 Diperbarui: 25 November 2017   19:34 2043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerokan dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Ini mirip kerokan Gua sha dari China, kerokan Cao Gio Thailand atau Goh Kyol Vietnam. Bedanya, Indonesia memakai alat berupa (mayoritas) koin uang sedangkan negara tetangga lebih memilih alat dari kayu, sendok keramik, lempengan, giok atau obyek lain.

Bagaimana dengan tanggapan barat terhadap tradisi kerokan negara-negara Asia?

Pro-kontra Kerokan di Negeri Barat

Tahun 2001, Jerman sempat heboh karena ada anak Vietnam umur 7 tahun diberitakan mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya. Mengapa? Karena badannya merah-merah seperti habis dihajar. Meski sudah dijelaskan bahwa itu adalah Cao Gio, pihak sekolah dan dokter tentu belum bisa memahaminya waktu itu. Saya masygul, lain ladang lain belalang. Lain yang sakit, lain obatnya.

Adalah Dr. Jan Sperhalke dari Institut kesehatan Universitas Hamburg yang mengadakan penelitian dan menuliskannya dalam jurnal. Dilema antara apakah Cao Gio itu sebagai Kindesmisshandlung (kekerasan pada anak) atau Heilbehandlung (proses penyembuhan), dibahas di sana. Hasilnya? Ia menyarankan supaya tenaga kesehatan profesional  sebaiknya berhati-hati dalam memandang fenomena itu dan dalam menjatuhkan diagnosis atau tuduhan. Mengapa? Karena meski terapinya menyebabkan kulit merah tetapi tidak ada alasan untuk menuding itu sebagai kekerasan kepada anak. Apalagi warna kerokan akan hilang dalam 1-2 hari saja.

Dari Eropa, saya ajak Anda ke Amerika. Masih ingat film yang mengangkat gambaran  seorang kakek yang dipenjara gara-gara mengerok cucunya yang sakit dan dilaporkan pihak sekolah? Saya lupa judulnya tapi kisah nyata itu sebagai bukti betapa kontra dunia barat terhadap tradisi kerokan masih tinggi. Kerokan masih dianggap sebagai penyiksaan.

Tanggal 5 Mei 2015, Dr. Arya Nielsen menulis teori ilmu Gua sha dalam press release web Pacific College of Oriental Medicine. Sebelumnya, ia dan tim (Beth Israel Medical Center di New york) mengadakan penelitian tentang Gua sha (Gwa shar) dan belakangan, merekomendasikan teknik itu kepada dunia kesehatan barat.

Membaca tulisan beliau, saya terkejut. Rupanya ilmu pengetahuan yang ia dapat dari studi itu berasal dari Dr. Gustav Dobos, yang mengundangnya untuk melakukan penelitian tentang Gua sha di Universitas Duisburg-Essen di Essen, Jerman.

Jerman? Bukankah mayoritas masyarakat Jerman masih tidak setuju dengan tradisi Gua sha China dan kerokan dari Indonesia? Menurut mereka, korelasi antara dikerok dan jadi sehat, belum bisa dibuktikan secara medis. Bukankah itu sadis dan penyiksaan? Bagaimana mungkin terapi tradisional itu bisa menyembuhkan orang? Begitu pertanyaan jamak yang muncul dari negeri tumpangan saya, yang terkenal dengan peralatan kedokteran dan teknik canggihnya itu.

Siapa Dr.Arya? Beliau adalah seorang ahli akupuntur dari USA yang lulus Acupuncture college tahun 1977. Selama lebih dari 35 tahun praktek gua sha, sebenarnya perempuan itu telah membukukannya dalam "Gua Sha: A Traditional Technique for Modern Practice" tahun 1995 dan 2014. Saya yakin, ia membuka wawasan pembaca dan dunia kedokteran orang barat.

Tanggapan dari para pembaca beragam. Stefanie, fans yoga dan gua sha memberi komentar positif "Oh, Lordy do I love Gua Sha!" Sementara Foxthyme menulis " Excellent book, and while I'd love to bring the techniques into practice, I just can't bring myself to discolour the skin of clients with a bruise-like hue. Not good." Meskipun buku Dr. Arya itu bagus tapi gua sha dianggap kurang bagus dan tidak bisa ia terapkan kepada pasiennya.

Begitu pula di Indonesia. Meski kerokan sudah dikenal sejak jaman kakek-nenek, buyut-canggah, tetap ada orang Indonesia yang takut atau tidak mau dikerok seumur hidupnya. Alasannya macam-macam; karena rasa sakit, tidak biasa, takut atau jijik. Setelah kerokan, badan memang mirip Zebra cross atau tulang ikan berwarna merah.

Gebrakan Penelitian Tentang Kerokan dari Indonesia

Syukurlah, di antara ramainya pro-kontra terhadap kerokan, ada penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. dr. Didik GunawanTamtomo, PAK, MM, M.Kes. di Surakarta, Indonesia tahun 2003-2005. Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta itu  melakukan biopsi kulitnya yang dikeriki saat penelitian. Hasilnya; Jaringan subepitel sembab dengan kapiler yang melebar bukan pecah, dan tidak ada kerusakan pada kulit.

Berharap semakin banyak penelitian tentang kerokan dan hubungannya dengan masalah kesehatan yang dilakukan oleh peneliti dalam dan luar negeri, sebagai pembanding dan bukti keampuhannya dari tahun ke tahun.

Koleksi uang rupiah buat kerokan (dok-Gana)
Koleksi uang rupiah buat kerokan (dok-Gana)
Koin terhalus, paling enak (dok.Gana)
Koin terhalus, paling enak (dok.Gana)
Melestarikan Tradisi Kerokan di Jerman

Hasil penelitian tadi jadi rujukan kami. Kerokan adalah sebuah tradisi. Sudah tak asing terdengar kalimat bapak pada ibu, "Jeng, aku masuk angin." Berarti ibu harus segera menyiapkan minyak tanah dan uang mang pi atau logam Rp 0,05 yang sudah sangat halus karena permukaan gambarnya sudah menghilang.

Mengapa minyak tanah? Bukankah itu panas? Mungkin karena jaman dulu itu, minyak tanah adalah bahan bakar utama di rumah untuk memasak, senthir/teplok atau lampu dengan sumbu dan berbahan bakar minyak tanah, sampai membakar sampah. Sekarang jaman berubah, minyak tanah langka dan mereka menggantinya dengan balsem.

Itulah, mulai dari eyang putri di Walikukun dan Semarang, bapak-ibu, saya dan suami sampai anak-anak kami mengenal tradisi kerokan. Khasiatnya terbukti nyata dan sugesti jadi sehat, tak lekang oleh zaman. Semoga lestari sampai cucu-cicit di negeri orang.

Apakah mudah melestarikan tradisi kerokan di Jerman, yang notabene bukan penganut paham kerokan ketika merasa masuk angin (kepala pusing, perut kembung, flu, nyeri otot, mual dan  meriang)?

Tidak. Tentu tidak semudah yang Anda bayangkan. Dulu pernah saya tulis pengalaman pertama kali mengerok suami, lalu ia pergi periksa demi mendapatkan surat ijin dari dokter. Dokter melarang suami dan saya untuk melakukannya lagi. Atau, saya akan dilaporkan kepada yang berwajib karena dianggap telah menganiaya suami saya yang sebesar gaban itu. Suami dan dokter tersebut, asli Jerman. Gemes, masak tradisi kerokan harus mati sampai di sini? Untung ada akal. Sssssssst, pada edisi kerokan berikutnya, kami melakukannya secara diam-diam dan tidak pergi ke dokter ketika badan masih merah-merah.

Mengapa suami saya yang bule mau saja dikerok, padahal belum tentu orang asli Indonesia mau? Karena memang dulu pernah tinggal cukup lama di Indonesia. Di sanalah, ia melihat tradisi itu hidup dan berkembang, bahkan mudah terlihat di tempat terbuka. Di pasar ada, di kantor ada, di pabrik ada, di warung ada, di rumah-rumah apalagi, tambah banyak. Tapi, ya, itu, ia tak berani minta kerok. Huh, "badan preman, hati  princess" sentil orang-orang.

Suatu hari ketika pindah ke Jerman, ia masuk angin dan seperti biasa, minta pijat. Saya pikir, lebih mantab dengan kerokan lalu pijat sedikit (pijat dan kerik). Kalau pijat terus, tangan saya yang lelah karena badannya besar, tekanan tangan saya yang se-unyil tak kuat memijat. Bidang yang dipijat juga luas. Mau diinjak-injak, dia menolak.

Setelah saya rayu, suami saya mau. "Ya, sudah, dikerok." Saya oleskan balsam sejenis Balsem Lang, lalu logam khusus yang halus pemberian ibu, saya goreskan ke kulitnya. Pelan tapi pasti saya kerik bagian punggung kanan dan kiri. Lukisan duri ikan merah terlihat di sana. Bagian tengah saya kerik lurus. Baru pundak dan leher belakang.

Ya, ampun. Tadinya, ia menjerit-jerit kesakitan dan tak bisa diam. Tekanan saya kurangi, ia pun tak mengeluh lagi. Usai tubuh bagian belakangnya rata dikerok, saya usapkan balsem lagi dan sedikit dipijat-pijat.

Tahukah Anda? Rasanya harmonis dan mesra karena kasih sayang dan sentuhan yang terjadi di antara kami. Selesai pirik, ia merasakan badannya hangat dan ringan. Makin cinta.

Sama halnya dengan saya, yang sebenarnya benci obat. Ada, kan orang yang sedikit-sedikit obat atau sebentar-sebentar pergi ke dokter. Semaksimal mungkin, saya akan menempuh cara tradisional seperti pijat, jamu atau kerokan. Ah, kerokan. Kalau tidak dikerok, badan kurang mantab. Sesudah dikerok, saya lega.

Makanya, kalau saya yang giliran masuk angin, minta dikerok suami. Dulunya, ia tidak tega. Badan saya sudah kecil, dikerok jadi merah-merah. Syukurlah, akhirnya ia mau mengerok saya. Sayangnya, cara mengerok salah; gerakan kerokan dari bawah ke atas (bukan atas ke bawah) dan jarak antara satu garis dengan lainnya yang terlalu jarang dan bertabrakan. Bangga bahwa sekarang dia sudah pintar mengerok. Tidak hanya istri yang melayani suami tapi juga sebaliknya, suami siaga.

Kerokan?Jangan lupa pakai balsemlang!(dok.Balsemlang)
Kerokan?Jangan lupa pakai balsemlang!(dok.Balsemlang)
Bagaimana dengan anak-anak kami? Mengingat dokter setempat sudah memberikan peringatan, saya harus mawas diri. Ketika anak-anak masih balita, saya tidak mengerok badan mereka tetapi pirut (pijat dan urut). Saya pakai parutan minyak goreng, parutan bawang merah dan sepercik garam. Resep itu saya dapatkan dari ibu. Ibu yang melahirkan anak tujuh, selalu memijat anak-anaknya ketika sakit panas, flu atau sekedar lelah. Bahkan ketika anak-anak saya baru saja lahir, ibu sudah mengenalkan tradisi pirut dengan ramuan resep itu setiap pagi.

Senang rasanya bahwa tradisi itu saya boyong sampai Jerman. Anak-anak yang waktu itu masih balita, mulanya mengeluh. Kalau sudah mau dipijat, hidung sudah disumbat dengan tangan."Bauuu," katanya. Bau bawang merah mentah memang kuat sekali, mencocok hidung.

Apa daya, tetap saja saya pirut badan depan dan belakang, kaki, tangan dan leher anak. Biasanya, mereka akan nyenyak tidurnya meskipun bau badannya seperti warung atau toko obat tradisional. Keesokan harinya, mereka mandi air hangat dan badan serasa lebih segar.

Jadinya, tanpa diminta, kalau sedang lelah biasanya mereka minta sendiri untuk dipijat dengan minyak bawang merah tadi.

Nah, baru ketika anak sudah mulai SD, mereka saya tulari budaya kerokan. Saya pikir mereka sudah bisa bertahan ketika badannya dikerok. Maklum, ada tekanan koin pada kulit dan tulang. Biasanya, gerakan akan saya pelankan dan tekanan akan dikurangi agar lebih nyaman dan tidak sakit. Kalau memang badan benar-benar sakit, tanpa kencang kerokannya pun, sudah merah-merahlah kulit.

Mereka paling suka akhirannya. Iya, diolesi balsam dan dipijat dari kepala sampai kaki! Aih, senangnya! (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun