Suatu hari ketika pindah ke Jerman, ia masuk angin dan seperti biasa, minta pijat. Saya pikir, lebih mantab dengan kerokan lalu pijat sedikit (pijat dan kerik). Kalau pijat terus, tangan saya yang lelah karena badannya besar, tekanan tangan saya yang se-unyil tak kuat memijat. Bidang yang dipijat juga luas. Mau diinjak-injak, dia menolak.
Setelah saya rayu, suami saya mau. "Ya, sudah, dikerok." Saya oleskan balsam sejenis Balsem Lang, lalu logam khusus yang halus pemberian ibu, saya goreskan ke kulitnya. Pelan tapi pasti saya kerik bagian punggung kanan dan kiri. Lukisan duri ikan merah terlihat di sana. Bagian tengah saya kerik lurus. Baru pundak dan leher belakang.
Ya, ampun. Tadinya, ia menjerit-jerit kesakitan dan tak bisa diam. Tekanan saya kurangi, ia pun tak mengeluh lagi. Usai tubuh bagian belakangnya rata dikerok, saya usapkan balsem lagi dan sedikit dipijat-pijat.
Tahukah Anda? Rasanya harmonis dan mesra karena kasih sayang dan sentuhan yang terjadi di antara kami. Selesai pirik, ia merasakan badannya hangat dan ringan. Makin cinta.
Sama halnya dengan saya, yang sebenarnya benci obat. Ada, kan orang yang sedikit-sedikit obat atau sebentar-sebentar pergi ke dokter. Semaksimal mungkin, saya akan menempuh cara tradisional seperti pijat, jamu atau kerokan. Ah, kerokan. Kalau tidak dikerok, badan kurang mantab. Sesudah dikerok, saya lega.
Makanya, kalau saya yang giliran masuk angin, minta dikerok suami. Dulunya, ia tidak tega. Badan saya sudah kecil, dikerok jadi merah-merah. Syukurlah, akhirnya ia mau mengerok saya. Sayangnya, cara mengerok salah; gerakan kerokan dari bawah ke atas (bukan atas ke bawah) dan jarak antara satu garis dengan lainnya yang terlalu jarang dan bertabrakan. Bangga bahwa sekarang dia sudah pintar mengerok. Tidak hanya istri yang melayani suami tapi juga sebaliknya, suami siaga.
Senang rasanya bahwa tradisi itu saya boyong sampai Jerman. Anak-anak yang waktu itu masih balita, mulanya mengeluh. Kalau sudah mau dipijat, hidung sudah disumbat dengan tangan."Bauuu," katanya. Bau bawang merah mentah memang kuat sekali, mencocok hidung.
Apa daya, tetap saja saya pirut badan depan dan belakang, kaki, tangan dan leher anak. Biasanya, mereka akan nyenyak tidurnya meskipun bau badannya seperti warung atau toko obat tradisional. Keesokan harinya, mereka mandi air hangat dan badan serasa lebih segar.
Jadinya, tanpa diminta, kalau sedang lelah biasanya mereka minta sendiri untuk dipijat dengan minyak bawang merah tadi.
Nah, baru ketika anak sudah mulai SD, mereka saya tulari budaya kerokan. Saya pikir mereka sudah bisa bertahan ketika badannya dikerok. Maklum, ada tekanan koin pada kulit dan tulang. Biasanya, gerakan akan saya pelankan dan tekanan akan dikurangi agar lebih nyaman dan tidak sakit. Kalau memang badan benar-benar sakit, tanpa kencang kerokannya pun, sudah merah-merahlah kulit.