Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Tetaplah Kerokan Sampai ke Negeri Jerman

25 November 2017   17:26 Diperbarui: 25 November 2017   19:34 2043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koin terhalus, paling enak (dok.Gana)

Begitu pula di Indonesia. Meski kerokan sudah dikenal sejak jaman kakek-nenek, buyut-canggah, tetap ada orang Indonesia yang takut atau tidak mau dikerok seumur hidupnya. Alasannya macam-macam; karena rasa sakit, tidak biasa, takut atau jijik. Setelah kerokan, badan memang mirip Zebra cross atau tulang ikan berwarna merah.

Gebrakan Penelitian Tentang Kerokan dari Indonesia

Syukurlah, di antara ramainya pro-kontra terhadap kerokan, ada penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. dr. Didik GunawanTamtomo, PAK, MM, M.Kes. di Surakarta, Indonesia tahun 2003-2005. Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta itu  melakukan biopsi kulitnya yang dikeriki saat penelitian. Hasilnya; Jaringan subepitel sembab dengan kapiler yang melebar bukan pecah, dan tidak ada kerusakan pada kulit.

Berharap semakin banyak penelitian tentang kerokan dan hubungannya dengan masalah kesehatan yang dilakukan oleh peneliti dalam dan luar negeri, sebagai pembanding dan bukti keampuhannya dari tahun ke tahun.

Koleksi uang rupiah buat kerokan (dok-Gana)
Koleksi uang rupiah buat kerokan (dok-Gana)
Koin terhalus, paling enak (dok.Gana)
Koin terhalus, paling enak (dok.Gana)
Melestarikan Tradisi Kerokan di Jerman

Hasil penelitian tadi jadi rujukan kami. Kerokan adalah sebuah tradisi. Sudah tak asing terdengar kalimat bapak pada ibu, "Jeng, aku masuk angin." Berarti ibu harus segera menyiapkan minyak tanah dan uang mang pi atau logam Rp 0,05 yang sudah sangat halus karena permukaan gambarnya sudah menghilang.

Mengapa minyak tanah? Bukankah itu panas? Mungkin karena jaman dulu itu, minyak tanah adalah bahan bakar utama di rumah untuk memasak, senthir/teplok atau lampu dengan sumbu dan berbahan bakar minyak tanah, sampai membakar sampah. Sekarang jaman berubah, minyak tanah langka dan mereka menggantinya dengan balsem.

Itulah, mulai dari eyang putri di Walikukun dan Semarang, bapak-ibu, saya dan suami sampai anak-anak kami mengenal tradisi kerokan. Khasiatnya terbukti nyata dan sugesti jadi sehat, tak lekang oleh zaman. Semoga lestari sampai cucu-cicit di negeri orang.

Apakah mudah melestarikan tradisi kerokan di Jerman, yang notabene bukan penganut paham kerokan ketika merasa masuk angin (kepala pusing, perut kembung, flu, nyeri otot, mual dan  meriang)?

Tidak. Tentu tidak semudah yang Anda bayangkan. Dulu pernah saya tulis pengalaman pertama kali mengerok suami, lalu ia pergi periksa demi mendapatkan surat ijin dari dokter. Dokter melarang suami dan saya untuk melakukannya lagi. Atau, saya akan dilaporkan kepada yang berwajib karena dianggap telah menganiaya suami saya yang sebesar gaban itu. Suami dan dokter tersebut, asli Jerman. Gemes, masak tradisi kerokan harus mati sampai di sini? Untung ada akal. Sssssssst, pada edisi kerokan berikutnya, kami melakukannya secara diam-diam dan tidak pergi ke dokter ketika badan masih merah-merah.

Mengapa suami saya yang bule mau saja dikerok, padahal belum tentu orang asli Indonesia mau? Karena memang dulu pernah tinggal cukup lama di Indonesia. Di sanalah, ia melihat tradisi itu hidup dan berkembang, bahkan mudah terlihat di tempat terbuka. Di pasar ada, di kantor ada, di pabrik ada, di warung ada, di rumah-rumah apalagi, tambah banyak. Tapi, ya, itu, ia tak berani minta kerok. Huh, "badan preman, hati  princess" sentil orang-orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun