Begitu pula di Indonesia. Meski kerokan sudah dikenal sejak jaman kakek-nenek, buyut-canggah, tetap ada orang Indonesia yang takut atau tidak mau dikerok seumur hidupnya. Alasannya macam-macam; karena rasa sakit, tidak biasa, takut atau jijik. Setelah kerokan, badan memang mirip Zebra cross atau tulang ikan berwarna merah.
Gebrakan Penelitian Tentang Kerokan dari Indonesia
Syukurlah, di antara ramainya pro-kontra terhadap kerokan, ada penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. dr. Didik GunawanTamtomo, PAK, MM, M.Kes. di Surakarta, Indonesia tahun 2003-2005. Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta itu melakukan biopsi kulitnya yang dikeriki saat penelitian. Hasilnya; Jaringan subepitel sembab dengan kapiler yang melebar bukan pecah, dan tidak ada kerusakan pada kulit.
Berharap semakin banyak penelitian tentang kerokan dan hubungannya dengan masalah kesehatan yang dilakukan oleh peneliti dalam dan luar negeri, sebagai pembanding dan bukti keampuhannya dari tahun ke tahun.
Hasil penelitian tadi jadi rujukan kami. Kerokan adalah sebuah tradisi. Sudah tak asing terdengar kalimat bapak pada ibu, "Jeng, aku masuk angin." Berarti ibu harus segera menyiapkan minyak tanah dan uang mang pi atau logam Rp 0,05 yang sudah sangat halus karena permukaan gambarnya sudah menghilang.
Mengapa minyak tanah? Bukankah itu panas? Mungkin karena jaman dulu itu, minyak tanah adalah bahan bakar utama di rumah untuk memasak, senthir/teplok atau lampu dengan sumbu dan berbahan bakar minyak tanah, sampai membakar sampah. Sekarang jaman berubah, minyak tanah langka dan mereka menggantinya dengan balsem.
Itulah, mulai dari eyang putri di Walikukun dan Semarang, bapak-ibu, saya dan suami sampai anak-anak kami mengenal tradisi kerokan. Khasiatnya terbukti nyata dan sugesti jadi sehat, tak lekang oleh zaman. Semoga lestari sampai cucu-cicit di negeri orang.
Apakah mudah melestarikan tradisi kerokan di Jerman, yang notabene bukan penganut paham kerokan ketika merasa masuk angin (kepala pusing, perut kembung, flu, nyeri otot, mual dan meriang)?
Tidak. Tentu tidak semudah yang Anda bayangkan. Dulu pernah saya tulis pengalaman pertama kali mengerok suami, lalu ia pergi periksa demi mendapatkan surat ijin dari dokter. Dokter melarang suami dan saya untuk melakukannya lagi. Atau, saya akan dilaporkan kepada yang berwajib karena dianggap telah menganiaya suami saya yang sebesar gaban itu. Suami dan dokter tersebut, asli Jerman. Gemes, masak tradisi kerokan harus mati sampai di sini? Untung ada akal. Sssssssst, pada edisi kerokan berikutnya, kami melakukannya secara diam-diam dan tidak pergi ke dokter ketika badan masih merah-merah.
Mengapa suami saya yang bule mau saja dikerok, padahal belum tentu orang asli Indonesia mau? Karena memang dulu pernah tinggal cukup lama di Indonesia. Di sanalah, ia melihat tradisi itu hidup dan berkembang, bahkan mudah terlihat di tempat terbuka. Di pasar ada, di kantor ada, di pabrik ada, di warung ada, di rumah-rumah apalagi, tambah banyak. Tapi, ya, itu, ia tak berani minta kerok. Huh, "badan preman, hati princess" sentil orang-orang.