Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tulisan di Kompasiana Bisa Jadi Buku Loh!

15 November 2017   17:34 Diperbarui: 16 November 2017   00:02 2568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berisi tulisan saya di Kompasiana (dok.Elexmedia)

Kompasiana yang lahir pada tanggal 22 Oktober 2008, baru saja berulang tahun. 9thKompasiana; semoga jaya, semakin menggemaskan dan sukses selalu. Bagi admin perempuan, peluk jauh dari Jerman satu-satu. Yang admin laki-laki, peluklah pohon dan rasakan sensasi alam.

Teman-teman, meski sudah jadi pembaca alias silent reader sejak tahun 2009, saya baru mendaftar jadi anggota pada tanggal 30 April 2011. Maklum anak-anak waktu itu masih balita dan sering membuat rambut saya seperti tersengat listrik. Mengorganisasi waktu tidak semudah kata-kata. Apalagi menguasai diri dari bahaya laten post power syndrom, kehilangan semua yang pernah saya raih di Indonesia dan memulai dari nol di negeri orang.

Pakailah bahasa Indonesia (yang baik dan benar)

Oh, ya, artikel pertama saya tayang tanggal 1 Mei 2011. Sampai hari ini, selain tulisan, sudah banyak kenangan yang saya alami selama berkompasiana. Saya akan bagikan apa saja suka duka selama berinteraksi di Kompasiana itu lain kali.

Kini, saya mau berkisah rasanya jauh dari tanah tumpah darah dan jarang menggunakan bahasa Indonesia melainkan bahasa Jerman dan bahasa Inggris, membuat saya bersikeras untuk selalu rajin menulis di Kompasiana, supaya tidak pernah lupa.

Ya, bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Meski masih banyak yang tidak pakai EYD seperti saya, paling tidak semaksimal mungkin dijauhkan dari bahasa alay. Hahaha, pusing seperti gasing.

Mau Kompasianer yang dari Batak, dari Jawa, dari Flores, dari Makassar, dari Banjarmasin, dari Ambon atau diaspora di seluruh dunia, mereka semua menggunakan bahasa yang sama dan saya mengerti. Indah, indah sekali karena berbeda tetapi tetap satu dan bermanfaat serta menginspirasi tulisan mereka yang terbaca.

Sampulnya kuning jreng (dok. Elexmedia)
Sampulnya kuning jreng (dok. Elexmedia)
Tulisan saya di Kompasiana jadi buku

Sudah ada 1164 artikel yang saya tulis selama 2011-2017 ini. Lumayan banyak untuk ukuran ibu rumah tangga yang terbiasa dengan (mayoritas) rutinitas dapur, kasur, sumur. Bahkan untuk kebanyakan Kompasianer, itu sudah bagus dan bisa jadi melampaui jumlah tulisan Anda. Bolehlah saya bangga kalau saya ini rajin menulis di antara kesibukan di rumah yang pekerjaannya 24 jam tak pernah usai. Saya akui, masih banyak kesalahan di tulisan-tulisan saya, baik saltik atau isi. Mohon jangan lempar saya pakai sepatu seperti adat bapak yang itu. Jangan pernah jemu menyimak aliran informasi dan kisah tentang Jerman dari kacamata saya.

Eh, apakah tulisan saya itu jadi sampah? Oh, tentu tidak. Tulisan sejak tahun 2011 sampai 2014 saya di Kompasiana, baru saja diterbitkan menjadi "Unbelievable Germany" tahun 2017. Ini bukan pertama kalinya. Sebelumnya sudah ada kolaborasi buku diaspora "Kami (Tidak) Lupa Indonesia" yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka Yogyakarta pada tahun 2014. Itu kerjasama dengan managemen Kompasiana. Di sana, 4 artikel saya yang ditayangkan di Kompasiana turut serta. Yang belum punya bukunya, silakan ke toko buku. Warna sampulnya oranye dengan gambar burger tempe, sangat menarik!

Kalau tadi saya promo, tulisan saya jadi buku solo lalu ada yang komentar "wow, asyik," sebentar, perjuangannya tidak mudah. Begini ceritanya:

Admin K, Mas Isjet dulu pernah menghubungi saya bahwa ada proyek pencetakan buku Kompasianer terpilih. Setelah artikel saya kumpulkan dan diedit, rupanya proyek gatot. Lantas? Apa saya hanya nangis bombay sambil goyang India? Tentu tidaaak. Saya berupaya mengedit lagi kumpulan tersebut dan mengirimnya ke Elexmedia. Haaa, saya siapa, ya, gaya dan berani-beraninya. Kenal dengan orang di penerbit mayor Elexmedia saja tidak. Saya tidak peduli. Wong, niat saya baik.

Setelah keriting mencetak naskah dalam kertas A4 sebanyak 300 an halaman, saya kirim ke Jakarta. Beanya 15 euro atau sekitar Rp 200.000 an. Tiba di Indonesia barang 3-4 minggu. Menunggu dijawabpun pastilah bulanan. Bisa dibayangkan lamanya menunggu kepastian "Apakah naskah saya diterima?", "Apakah naskah saya akan diterbitkan?" dan beragam pertanyaan lain. Hatahhhh, lebih tegang dari menunggu pacar, wakuncar. Biarkanlah, menulis tetap jalan terus karena setiap tulisan pasti punya pembaca dan nasibnya sendiri. Saya harus sabar, biar subur dan selamat.

Ehem. "Kalau tidak mendapat bola, jemputlah bola." Iya, saya menelpon kantor Elexmedia, menanyakan nasib naskah saya. Beanya murah, SLI Jerman hanya 0,04 euro per menit atau Rp 0,060(?). Sekretaris menyambungkan saya dengan mas Eko. Oh, Tuhan, naskah saya menyublim!

Sampai suatu hari, ada jawaban dari editor lain yang mengabarkan bahwa naskah sudah ditemukan, ada di meja redaksi tapi tidak bisa diterbitkan. Tulisannya bagus tapi kurang menjual. Haaaa, sedih.

A bad news is a good news. Walaupun saya harus tabah mendengar berita buruk itu, rupanya tetap mendapat tawaran baru untuk menulis buku travel tentang Jerman.

"Bisa selesai berapa bulan?" Begitu tantang editor elexmedia. Akhirnya setelah 6 bulanan dan berganti tiga editor, berapa? Ti-ga, tiga editor (Novia, Rena, Riza), buku itu jadi. Judulnya, "Exploring Germany" dan terbit Februari 2016.

Buku itu disusul dengan "Exploring Hungary" pada Desember 2016. Berkat buku-buku itu, saya jadi bisa bertatap muka langsung dengan para editor Elexmedia di Jakarta dan Semarang. Ingat, tidak ada KKN yang ada dalam keberuntungan saya menerbitkan buku di sana. Menurut saya, itu sesuatu karena betul-betul berangkat dari nol putul. Kalau Anda kenal dengan orang dalam, jalan tol ada di depan mata. Saya tidak ngiri tapi nganan.

Rasa bersyukur pada-Nya, editor terakhir saya berhasil membantu saya menelorkan kedua buku tersebut. Namanya, Rizza Hardiani. Dia masih hutang mempertimbangkan naskah saya "Banyak Jalan Menuju Jerman", berisi bagaimana pergi ke Jerman lewat program Au Pair Mdchen dan FSJ, Freiwiliges Sozial  Jahr. Hahaha, saya mirip tukang kredit yang menagih hutang. Maaf, ya, dik. Jangan pernah lelah.

Di kemudian hari, perempuan muda dan imut itu lagi-lagi jadi malaikat. Mengirimi saya berita bagus.

"Mbak, "Serabi Jerman" ini naskah mbak, ya?"

"Iya."

"Isinya bagus. Saya menemukannya di tumpukan paling atas sampah meja Elexmedia yang segera dibuang." Kalimat gadis penyuka jalan-jalan itu membuat saya langsung tepok jidat. Bukankah naskah itu sudah ditolak tahun 2014? Pertanyaan dik Riza dilontarkan tahun 2017. Ya, ampun, jadul.

Ah, selalu begitu. Lagi-lagi, naskah saya jadi calon sampah di penerbit mayor. Ingat, bukan? Naskah "Jetty Maika dan Roh Balet Sedunia" bernasib sama, tumpukan sampah paling atas, yang harus dibuang Gramedia. Sampai akhirnya diskusi dengan editor mbak Nana dan mengalami proses panjang. Akhirnya, ditulis ulang oleh Budi Maryono menjadi buku "Bertahan di Ujung Pointe" tahun 2015.

Singkat cerita, dari perbincangan dengan dik Riza, naskah "Serabi Jerman" itu saya koreksi lagi karena dikirim tahun 2014, ditambahi banyak foto dan ada beberapa hal yang sudah berubah yang perlu diganti.

Buku "Serba-Serbi Jerman" diganti judul menjadi "Unbelievable Germany" supaya satu aliran dengan cerita Kompasianer Weedy Koshino di Jepang yang telah menjadi "Unbelievable Japan" dan "Unbelievable Japan II" yang dibidaninya.  Tulisan dalam buku mbak Wid adalah tulisan yang ada di Kompasiana juga. Tuh, bermanfaat, bukan?

Menurut dik Riza, buku saya itu bisa jadi satu seri dengan "Exploring Germany." Kalau sudah punya buku panduan jalan-jalan ke Jerman itu, pembaca diharapkan mengoleksi buku sosial budaya Jerman "Unbelievable Germany." Apa lagi buku tentang Jerman yang akan mengikuti seri saya? Artikel di Kompasiana yang mana yang akan saya masukkan di sana? Semoga selalu ada dan berkesinambungan. Mohon doanya dan tak lupa, beli bukunya.

Kata pengantar
Kata pengantar
Mencari Kata Pengantar untuk "Unbelievable Germany"

Beberapa buku saya memiliki kata pengantar. Misalnya buku "38 Wanita Indonesia Bisa" mendapat perhatian dari Menteri Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak, ibu Amelia Gumelar atau "Exploring Hungary" dengan ibu Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Hongaria, Yang Mulia Dra. Wening Esthyprobo Fatandari, M.A.

Rasanya seperti masuk angin tanpa kerokan kalau buku "Unbelievable Germany" tidak ada kata pengantarnya. Apa yang harus saya lakukan? Saya ajukan ke KJRI di Frankfurt. Pikir saya, bukankah ini berkenaan dengan kehidupan yang dialami diaspora yang ada di wilayahnya?

Setelah mempertanyakan perihal surat saya, bagian pendidikan dan kebudayaannya menjelaskan bahwa KJRI tidak akan menurunkan kata pengantar. Ah, saya naif dan ditolak.

Baiklah, hal yang normal. Kepala saya berputar lagi, saya minta suami mengoreksi surat kepada Angela Merkel untuk memberikan sambutan bagi diaspora dari seluruh dunia di Jerman. Setelah jadi, saya mundur, sepertinya tidak relevan dalam buku dan lagi, saya tidak percaya diri meski kartu saya pernah dibalas beliau dengan kartu dari Berlin.

Selanjutnya, saya ingat, ada orang Indonesia yang sangat berpengaruh dan berprestasi.  Adalah Mas Hendra Pasuhuk, editor senior Deutschle Welle dan TV Magazine di Jerman. Segera saya hubungi Noni Arnee, wartawan Semarang yang pernah bertemu beliau. Maksud saya, ingin meminta alamat emailnya karena FB sedang tidak aktif. Hasilnya, Tuhan berpihak kepada saya, selembar kata pengantar diberikan. Tentu saja dengan catatan dari Mas Hendra bahwa ada beberapa kata dalam bahasa Jerman yang harus dikoreksi karena salah tulis. Suami saya rayu, selesai!

***

Dari cerita proses penerbitan buku di Elexmedia atas buku-buku saya, terutama yang saya ambil dari tulisan di Kompasiana ini, semoga menginspirasi.

Bagi pendatang baru, ini sebagai cambuk bahwa menulis di Kompasiana ini tidak akan pernah sia-sia. Tulisan Anda bukan sampah. Memang tulisan saya benar-benar mau jadi calon sampah tapi terselamatkan. Tuhan memberi jalan terang bagi naskah dan menyulap jadi buku.

Begitulah, sepanjang niat kita baik, tulisannya baik, medianya baik dan disampaikan dengan cara yang baik, tulisan itu akan memiliki nasib baik. Ya, bisa jadi buku, lho! Buku ini mengenang tulisan saya di Kompasiana.  Kalau saya mati, saya yakin, tulisan saya tetap abadi.

Bagaimana, sudah berapa cc air liur Anda yang menetes, membayangkan tulisan Anda di Kompasiana diabadikan dalam sebuah buku? Semangat dan sukses untuk semua. Kalau saya bisa, Anda lebih bisa. Salam hangat dari Jerman yang sudah mulai dingin, brrrrrr. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun