"Isinya bagus. Saya menemukannya di tumpukan paling atas sampah meja Elexmedia yang segera dibuang." Kalimat gadis penyuka jalan-jalan itu membuat saya langsung tepok jidat. Bukankah naskah itu sudah ditolak tahun 2014? Pertanyaan dik Riza dilontarkan tahun 2017. Ya, ampun, jadul.
Ah, selalu begitu. Lagi-lagi, naskah saya jadi calon sampah di penerbit mayor. Ingat, bukan? Naskah "Jetty Maika dan Roh Balet Sedunia" bernasib sama, tumpukan sampah paling atas, yang harus dibuang Gramedia. Sampai akhirnya diskusi dengan editor mbak Nana dan mengalami proses panjang. Akhirnya, ditulis ulang oleh Budi Maryono menjadi buku "Bertahan di Ujung Pointe" tahun 2015.
Singkat cerita, dari perbincangan dengan dik Riza, naskah "Serabi Jerman" itu saya koreksi lagi karena dikirim tahun 2014, ditambahi banyak foto dan ada beberapa hal yang sudah berubah yang perlu diganti.
Buku "Serba-Serbi Jerman" diganti judul menjadi "Unbelievable Germany" supaya satu aliran dengan cerita Kompasianer Weedy Koshino di Jepang yang telah menjadi "Unbelievable Japan" dan "Unbelievable Japan II" yang dibidaninya. Tulisan dalam buku mbak Wid adalah tulisan yang ada di Kompasiana juga. Tuh, bermanfaat, bukan?
Menurut dik Riza, buku saya itu bisa jadi satu seri dengan "Exploring Germany." Kalau sudah punya buku panduan jalan-jalan ke Jerman itu, pembaca diharapkan mengoleksi buku sosial budaya Jerman "Unbelievable Germany." Apa lagi buku tentang Jerman yang akan mengikuti seri saya? Artikel di Kompasiana yang mana yang akan saya masukkan di sana? Semoga selalu ada dan berkesinambungan. Mohon doanya dan tak lupa, beli bukunya.
Beberapa buku saya memiliki kata pengantar. Misalnya buku "38 Wanita Indonesia Bisa" mendapat perhatian dari Menteri Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak, ibu Amelia Gumelar atau "Exploring Hungary" dengan ibu Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Hongaria, Yang Mulia Dra. Wening Esthyprobo Fatandari, M.A.
Rasanya seperti masuk angin tanpa kerokan kalau buku "Unbelievable Germany" tidak ada kata pengantarnya. Apa yang harus saya lakukan? Saya ajukan ke KJRI di Frankfurt. Pikir saya, bukankah ini berkenaan dengan kehidupan yang dialami diaspora yang ada di wilayahnya?
Setelah mempertanyakan perihal surat saya, bagian pendidikan dan kebudayaannya menjelaskan bahwa KJRI tidak akan menurunkan kata pengantar. Ah, saya naif dan ditolak.
Baiklah, hal yang normal. Kepala saya berputar lagi, saya minta suami mengoreksi surat kepada Angela Merkel untuk memberikan sambutan bagi diaspora dari seluruh dunia di Jerman. Setelah jadi, saya mundur, sepertinya tidak relevan dalam buku dan lagi, saya tidak percaya diri meski kartu saya pernah dibalas beliau dengan kartu dari Berlin.
Selanjutnya, saya ingat, ada orang Indonesia yang sangat berpengaruh dan berprestasi. Adalah Mas Hendra Pasuhuk, editor senior Deutschle Welle dan TV Magazine di Jerman. Segera saya hubungi Noni Arnee, wartawan Semarang yang pernah bertemu beliau. Maksud saya, ingin meminta alamat emailnya karena FB sedang tidak aktif. Hasilnya, Tuhan berpihak kepada saya, selembar kata pengantar diberikan. Tentu saja dengan catatan dari Mas Hendra bahwa ada beberapa kata dalam bahasa Jerman yang harus dikoreksi karena salah tulis. Suami saya rayu, selesai!