"Aha ....".
"Aku harus bilang apa sama teman-teman kalau tanya kenapa kalian tak datang?" Kakak bingung. Terselip nada kecewa dari pita suaranya.
"Terserah. Aku mau bikin pesta tandingan di depan rumahmu ..." Suara di seberang sana menutup percakapan yang baru saja terjadi.
Percakapan yang membuat langkah menuju kamarku, sejenak terhenti. Rupanya, ada yang tidak suka kehadiranku di pesta kakak nanti. Walau tak gatal, kugosok bibirku.
***
Jumat pagi, sehari sebelum pesta di rumah kami, Jan, tetangga kami yang tempo hari menelpon kakak, tampak sibuk memotong kayu. Gergaji mesinnya memekakkan telinga, menciptakan polusi suara. Sayang, bukan hari Minggu.
Kulihat kakak sempat melongok ke luar jendela, memperhatikan apa yang Jan sedang kerjakan.
Waktu kutanya, ia curhat soal firasatnya; "Itu pasti untuk persiapan pesta tandingan hari Sabtu. Jumat malam Sabtu, pemanasan untuk pesta tandingan. Jahat."
Aku tak mampu luncurkan komentar barang satu huruf pun. Kepalaku hanya mengangguk-angguk lalu tertunduk. Ini semua karena salahku.
Tangan-tangan kecilku tetap melipat serbet kertas yang kubentuk kemeja. Origami yang kupelajari dari idolaku di SD dulu. Oh, sudah duapuluh tahun yang lalu! Rasanya baru kemarin aku menerima surat dengan lipatan seperti itu. Sesal di dada serasa menghampiri karena baru saja kutekuni kenangan yang telah lama berlalu. Andai saja bisa.
Ah, kupilih menyimpan hati yang belum terpanah, erat-erat. Seperti hari-hari yang lalu, aku masih sendiri, tiada yang merindu. Tenggelam dengan rutinitas biasa tapi tak buat jemu.