Minggu, 8 Oktober. Itu hari perayaan ultah anak bungsu. Selain mengundang teman-teman kelasnya, kami juga mengundang tante dan om. Sayangnya, mereka nggak bisa datang karena kelelahan dari perjalanan ke Austria selama seminggu. Meski hanya 3 jam-an naik mobil tetap saja capek, namanya sudah lansia. Mana nyetir sendiri lagi. Yahhh, rinderzunge (sop lidah saos tomat), nasi kuning, lumpia dan kaese kuchen (kue keju) sisa banyak ... akhirnya dihabisin sendiri. Sampai hari ini belum habis. Ada yang mau?
Nah, dalam percakapan telepon, mereka mengucapkan selamat ulang tahun pada anak kami dan berjanji akan datang akhir pekan nanti. Pelukan dan hadiah menyusul. Sebenarnya tanpa hadiah, sebuah kehadiran lebih nendang. Betul?
Dalam blah-blah lewat kabel, mereka cerita tentang turis yang tertangkap dan diancam denda polisi Austria karena pakai cadar di tempat wisata. Berapa? Omaigot 150 euro atau Rp 2.325.000,00! Banyak, ya? Kalau duitnya dikasih ke saya, bisa buat belanja kebutuhan sembako seminggu, tuh.
Bagaimana dengan masker mulut?
Tetap nggak boleh dipakai, kecuali kalau menyertakan surat keterangan dokter. Tanpa masker, orang tersebut bisa menyebarkan penyakit kan? Pengecualian itu yang harus dimengerti para turis asing (baik yang berjilbab maupun tidak).
Di bandara Austria, polisi biasa mengambil masker (tanpa surat) yang dipakai penumpang.
Stuttgart saja sudah punya ide melarang kendaraan diesel untuk masuk wilayahnya. Jadi di sana, nggak hanya pabrik melulu yang disalahkan. Akibatnya, ada beberapa perusahaan Jerman yang menawarkan penukaran mobil diesel dengan mobil ber-BBM lain dengan uang support 5000 euroan atau sekitar Rp 77.500.000,00. Berharap semakin banyak orang nggak pakai masker untuk melindungi diri dari asap gas beracun di jalanan negeri Mercedes Benz itu dan dapat hak menghirup udara segar.
Selain pakai masker mulut, topeng badut dan sejenisnya juga dilarang kecuali pada musim Fastnacht. Kalau di Jerman biasa dipakai pada karnaval bulan Februari-awal Maret. Mungkin di Austria juga mirip waktunya sekitar itu. Seperti di Swiss juga sama saatnya.
Sementara itu, baca-baca koran on line Frankfurter Allgemein tanggal 2 Oktober 2017, Direktur Pariwisata Wina Austria, Norbert Kettner skeptis. Ia merasa kurang senang dengan larangan pakai masker. Bukankah itu perlu dipakai untuk urusan kesehatan seseorang?
Apa tanggapan masyarakat?
Kembali lagi soal larangan cadar di negeri yang terkenal dengan Kota Wina. Tante dan om Jerman menanggapinya setuju dengan Burka-Verbot atau larangan pakai cadar yang dilakukan oleh pemerintahannya.
Keinginan pemerintah Austria untuk menyamaratakan semua orang yang berada di wilayahnya untuk memperlihatkan wajah sampai dagu hingga garis anak rambut tidak bertujuan mendiskriminasikan satu kelompok, melainkan untuk alasan keamanan dan melindungi wanita yang mendapat tekanan untuk memakainya.
Suami saya bilang sebenarnya nggak papa pakai cadar. Meskipun ada pemerintahan yang mengira bahwa wanita bercadar berada di bawah tekanan untuk memakainya, ia yakin banyak pula wanita yang sebenarnya memutuskan sendiri pemakaiannya, tanpa diminta. Kesadaran diri sendiri, hidayah.
Hanya saja untuk alasan keamanan di negeri Eropa seperti Austria dan Jerman misalnya, sepertinya memang penting untuk diberlakukan pelarangan.
Saya mengangguk. Saya kenal beberapa perempuan Indonesia yang memutuskan untuk memakai cadar di usia dini bahkan sampai yang setelah menikah baru pakai. Tanpa intimidasi. Keikhlasan memakainya didasari dari hati dan pikiran ke depan. Antara lain untuk melindungi diri sendiri dari hal-hal yang tidak diinginkan. Namun saya juga ingat, banyak pemikiran lain yang membuatnya jadi tidak relevan ketika dipakai di luar negeri. Iya, masalah keamanan negara dan perlindungan terhadap perempuan yang teramat sangat tinggi.
Beberapa organisasi keperempuanan di Austria sendiri menolak larangan yang membatasi perempuan untuk menentukan apapun dalam hidupnya, termasuk hak berpakaian.
Kalau ada kontra pasti ada pro. Seorang pengusaha Perancis asli Algeria, Rachid Nekazz bahkan punya organisasi yang berani dan rela membebaskan uang denda pada para wanita bercadar di seluruh Eropa. Setidaknya 300.000 euro telah dikeluarkannya. Begitu berita yang dilansir RT Deutsch tanggal 22. 9.2017.
Larangan nggak boleh pakai cadar di Austria memang punya dua mata sisi, baik dan buruk.
Apakah ini menurunkan jumlah wisatawan?
Salah satu daerah yang suka didatangi turis dari Arab namanya Zell am See. Itu tempat yang seperti gula untuk semut. Rame oleh turis Arab. Walikotanya, Peter Padourek punya pendapat bahwa larangan itu tidak serta merta menurunkan jumlah wisatawan. Itu mengacu pada pengalaman negara tetangga Belgia dan Perancis yang terlebih dahulu memberlakukannya sejak 2011. Kalau mereka saja masih deres devisanya, kenapa Austria nggak?
Banyak orang Jerman yang suka bepergian ke Wina melihat bangunan kuno, Salzburg dengan pegunungannya, Inssbruck dengan paduan pegunungan dan kota lama dan tempat-tempat main ski yang menakjubkan. Nggak heran kalau Jerman jadi penyumbang devisa sektor wisata nomor satu di Austria. Disusul Saudi Arabia, baru kemudian UEA. Orang Jerman suka travel dan Austria adalah tempat yang indah dan dekat, selain Swiss, Perancis dan Belanda.
Kita lihat saja nanti apakah sejak diberlakukan keras dan ketat pada tanggal 1 Oktober 2017, ini akan mempengaruhi jumlah wisatawan?(G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H