"Akhirnya, aku boleh nyoblos dalam pemilu Jerman untuk pertama kalinya," seru teman lama saya dari Vietnam yang telah ganti kewarganegaraan.
"Selamat! Kamu milih siapa?" mata saya membesar. Saya peluk perempuan berumur 30 tahun itu erat-erat.
"Nggak tahu, ya," tawanya meledak. Giginya yang miji timun mengusir prahara yang baru saja terjadi dalam kehidupannya.
"Yahhhh ...," saya tepok jidat.
Bingung milih siapa yang mau dicoblos? Halahhh ... Nggak cuma teman saya yang Auslnderin lalu jadi orang Jerman dalam kertas itu baru-baru ini saja yang bingung. Lah wong suami saya saja nanya saya:
"Aku harus milih siapa? Bingung, nih .... semua partai nggak bisa dipercaya. Semua pemimpin yang diajukan nggak aku suka,"
"Kalau aku jadi kamu, lupakan soal itu. Jadilah feminis. Pilih kandidat perempuan dan partai yang mendukung perempuan 1000 persen,"
"Ah, kamu ... asal," suami saya berkacak pinggang.
"Lhooo katanya nanya, nggak jawab dikira nggak respek, dijawab juga salah," saya pilih ngeloyor ngerjain pekerjaan rumah tangga. Untung saya nggak punya paspor merah tapi hijau.
Menurut pandangan saya, masyarakat yang aktif di partai, pasti fanatik dan dengan enteng memilih siapa kandidat dan mana partainya, kalau rakyat kecil yang biasa-biasa saja dan netral? Tidak semudah kata-kata ....
***