Suami cerita, dulu pernah mau nyoblos di tempat dia dilahirkan tapi nggak diterima karena surat panggilannya di tempat tinggal yang sekarang, di mana ia terdaftar. TPS sudah tertera di surat panggilan. Tidak bisa diganti atau mengganti sendiri.
Jadi hari itu, ia menuju TPS sesuai yang tertera di kertas.
Di sana, sudah ada tiga orang yang menjaga. Orang pertama, saya kenal sebagai pengurus Gemeinde yang kerja di koran lokal Graenzbote dan fotografer model, dia yang periksa surat undangan yang dibawa pemilih. Orang kedua, memberikan surat suara yang akan dicoblos. Orang ketiga, pak camat yang mengawasi jalannya pemilu.
Para pemilih antri dan menuju tiga sekat di atas meja, untuk mencoblos. Nggak desel-deselan, maklum penduduk kampung kami nggak banyak. Penduduk Jerman cuma 80 juta, nggak ada separohnya dari Indonesia.
Dua Pilihan (Zwei Stimmen)
Setiap warganegara Jerman di atas 18 tahun, mendapatkan dua suara. Erste Stimme untuk kandidat dan zweite Stimme untuk partai. Pencoblosan tetap rahasia. Nggak boleh selfie saat nyoblos, nggak boleh dipengaruhi dan mempengaruhi.
Waktu saya tanya suami, tadi gimana nyoblosnya. Dia bilang dalam kertas pilihan, nggak ada gambar, foto atau logo. Yang ada hanya tulisan. Seingat saya, di Indonesia nggak cuma tulisan.
Katanya lagi, ini demi menghindari halusinasi pemilih karena penampakan yang cantik, warna kulit dan sebagainya dari kandidat atau partai. Netral.
Anehnya, di sepanjang jalan, masih banyak baliho dari kandidat yang nempel. Kalau di Semarang dulu, biasanya semua sudah dicopot atau ditutup rapat. Kalau ada partai yang ndableg, segera ditibum kamtibmas, gambar diambil paksa. Masa kampanye sudah berakhir.
Ngomongin soal kampanye. Di daerah kami di Jerman Selatan di perbatasan Jerman-Swiss, nggak serame waktu di Semarang. Biasa-biasa saja, nggak heboh. Entahlah kalau di kota besar. Hanya saja duel antara Merkel dan Schulz di TV beberapa minggu lalu, sempat jadi spot yang rame. Angela Merkel memang pinter ngomong.