"Akhirnya, aku boleh nyoblos dalam pemilu Jerman untuk pertama kalinya," seru teman lama saya dari Vietnam yang telah ganti kewarganegaraan.
"Selamat! Kamu milih siapa?" mata saya membesar. Saya peluk perempuan berumur 30 tahun itu erat-erat.
"Nggak tahu, ya," tawanya meledak. Giginya yang miji timun mengusir prahara yang baru saja terjadi dalam kehidupannya.
"Yahhhh ...," saya tepok jidat.
Bingung milih siapa yang mau dicoblos? Halahhh ... Nggak cuma teman saya yang Auslnderin lalu jadi orang Jerman dalam kertas itu baru-baru ini saja yang bingung. Lah wong suami saya saja nanya saya:
"Aku harus milih siapa? Bingung, nih .... semua partai nggak bisa dipercaya. Semua pemimpin yang diajukan nggak aku suka,"
"Kalau aku jadi kamu, lupakan soal itu. Jadilah feminis. Pilih kandidat perempuan dan partai yang mendukung perempuan 1000 persen,"
"Ah, kamu ... asal," suami saya berkacak pinggang.
"Lhooo katanya nanya, nggak jawab dikira nggak respek, dijawab juga salah," saya pilih ngeloyor ngerjain pekerjaan rumah tangga. Untung saya nggak punya paspor merah tapi hijau.
Menurut pandangan saya, masyarakat yang aktif di partai, pasti fanatik dan dengan enteng memilih siapa kandidat dan mana partainya, kalau rakyat kecil yang biasa-biasa saja dan netral? Tidak semudah kata-kata ....
***
Minggu, 24 September 2017. Itu tanggal keramat yang ditunggu masyarakat Jerman. Apakah Angela Merkel dari partai CDU akan tersingkir oleh Martin Sulz? Bagaimana dengan partai AFD yang semakin banyak fans-nya? Hasil sementara menuju pukul 16.00, CDU tetap paling tinggi.
Ah, soal politik, ibu-ibu kayak saya mana tahu, ya? Tetapi sungguh unik mengintip peta politik Jerman yang pasti beda dengan di tanah air.
Makanya nggak salah kalau hari ini, saya niat ikut ajakan suami mencoblos jam 11.00. Saya yang nyetir. Nervous kali dia. Selain itu, saya pengen mengintip bagaimana sih, tata caranya. Apakah sama dengan di tanah air? Selama ini, saya cuma dari denger saja. Pengen lihat buktinya.
Surat panggilan (Wahlbrief)
Sama seperti di Indonesia. Ada surat panggilan yang ditujukan secara personal dengan nama dan alamat yang jelas. Misalnya Gana Stegmann, Hohenkarpfenstrasse No. 5 Tuttlingen 70532.
Di surat selembar berwarna putih itu, tertera informasi dalam halaman bolak-balik. Misalnya pemilu dilaksanana serentak tanggal 24 September 2017 jam 08.00-18.00 di Gemeinde Zentrum Tuttlingen.
Sekilas, saya baca cepat, bahwa mereka yang berhalangan (sakit), boleh didampingi keluarga, saudara atau teman bahkan tetangga (dengan memberitahukan panitia) tetapi tetap mencoblos sendiri dan menandatanganinya. Sedangkan yang sedang berada di luar negeri, kertas pilihan bisa dikirim per pos. Pengiriman surat pemilu lewat pos sudah dimulai di Jerman sejak tahun 1957.
Baris berikutnya adalah kalau mau datang sendiri.
Meskipun cuma kertas, kalau tanpa membawa Wahlbrief ini, siapapun orangnya nggak boleh mencoblos.
Kebetulan di halaman parkir, kami bertemu dengan seorang gadis umur 25 tahun. Ya, ampun, rambutnya awut-awutan kayak baru jatuh dari dipan. Ahhh, mungkin saja dari Oktoberfest, pesta bis sampai pagi yang digelar di kampung kami. Kalau satu gelas saja satu liter bir kental hitam, silakan taksir seberapa banyak alkohol yang masuk dalam tubuh dan bikin kepala kliyengan. Kalau dua, tiga bahkan lima gelas semalaman?
Nah, si gadis cantik bermata hijau itu harus kembali ke rumah karena ditolak oleh panitia pencoblosan. Untung rumahnya nggak jauh dan bawa mobil. Masih ada waktu sampai pukul 18.00. Katanya, jika lupa membawa surat (Wahlbenachrichtigung) itu, pemilih bisa menunjukkan KTP atau paspor. Panitia akan mencocokkan dengan data dan daftar yang ada. Sayangnya, dia juga nggak bawa. Lenggang kangkung tadi karena buru-buru.
Suami cerita, dulu pernah mau nyoblos di tempat dia dilahirkan tapi nggak diterima karena surat panggilannya di tempat tinggal yang sekarang, di mana ia terdaftar. TPS sudah tertera di surat panggilan. Tidak bisa diganti atau mengganti sendiri.
Jadi hari itu, ia menuju TPS sesuai yang tertera di kertas.
Di sana, sudah ada tiga orang yang menjaga. Orang pertama, saya kenal sebagai pengurus Gemeinde yang kerja di koran lokal Graenzbote dan fotografer model, dia yang periksa surat undangan yang dibawa pemilih. Orang kedua, memberikan surat suara yang akan dicoblos. Orang ketiga, pak camat yang mengawasi jalannya pemilu.
Para pemilih antri dan menuju tiga sekat di atas meja, untuk mencoblos. Nggak desel-deselan, maklum penduduk kampung kami nggak banyak. Penduduk Jerman cuma 80 juta, nggak ada separohnya dari Indonesia.
Dua Pilihan (Zwei Stimmen)
Setiap warganegara Jerman di atas 18 tahun, mendapatkan dua suara. Erste Stimme untuk kandidat dan zweite Stimme untuk partai. Pencoblosan tetap rahasia. Nggak boleh selfie saat nyoblos, nggak boleh dipengaruhi dan mempengaruhi.
Waktu saya tanya suami, tadi gimana nyoblosnya. Dia bilang dalam kertas pilihan, nggak ada gambar, foto atau logo. Yang ada hanya tulisan. Seingat saya, di Indonesia nggak cuma tulisan.
Katanya lagi, ini demi menghindari halusinasi pemilih karena penampakan yang cantik, warna kulit dan sebagainya dari kandidat atau partai. Netral.
Anehnya, di sepanjang jalan, masih banyak baliho dari kandidat yang nempel. Kalau di Semarang dulu, biasanya semua sudah dicopot atau ditutup rapat. Kalau ada partai yang ndableg, segera ditibum kamtibmas, gambar diambil paksa. Masa kampanye sudah berakhir.
Ngomongin soal kampanye. Di daerah kami di Jerman Selatan di perbatasan Jerman-Swiss, nggak serame waktu di Semarang. Biasa-biasa saja, nggak heboh. Entahlah kalau di kota besar. Hanya saja duel antara Merkel dan Schulz di TV beberapa minggu lalu, sempat jadi spot yang rame. Angela Merkel memang pinter ngomong.
Tanpa Tinta di Jari
Berbeda dengan di tanah air, pencoblos tidak diberi tanda tinta setelah keluar dari bilik. Pertama mungkin bisa menghemat bea tinta. Kedua, jari tidak kotor selama berhari-hari. Ketiga, tidak ketahuan sudah milih, ya? Bukankah manusia cuma punya 10 jari bukan 100? Gampang terlihat di Pemilu Indonesia tapi tidak di Jerman. Jangan berburuk sangka "Belum nyoblos, ya?"
Ketika selesai memilih, suami saya akan keluar ruangan, dipanggil oleh pak Buergermeister. Pak camat pemimpin daerah setempat itu memintanya untuk mengundang saya masuk. Ya, tadi saya ndelik,sembunyi. Semua yang datang orang Jerman dan mereka punya hak milih. Saya punya hak apa, hayo? Hak sepatu ada sih, banyak. Melihat dari jauh, tepat di depan pintu, ternyata ketahuan sama pak camat. Tangan beliau melambai. Merasa dipanggil, saya masuk.
"Terima kasih ya, lumpianya enak." Pak camat yang mau pensiun dini itu ingat saya yang bawa puluhan lumpia anget beberapa hari lalu dalam rapat museum setempat. Maksud saya, itu sebagai tanda terima kasih pada pemda dan museum yang telah membantu saya dalam acara yang saya adakan bersama Kampret tahun 2013 dan Hari Kartini tahun 2017 (termasuk pameran foto bersama Koteka, KPK, Ladiesiana dan Amboina).
"Ah, ya, super! Terima kasih juga." Tersipu. Saya malu. Wong pemilu kok, ngomongin lumpia. Semua mata menuju saya. Aduh, semoga mereka nggak bayangin saya kayak lumpia.
***
Baiklah, itu tadi pandangan mata saya. Kalau pandangan mata orang lain, mungkin beda. Namun, semoga saja kasih gambaran sedikit kayak gimana sih pemilu di negeri semaju, semodern, secanggih dan sedisiplin Jerman.
Hasil sementara sampai pukul 18.00, CDU/CSU tetap memimpin. AFD? Partai alternatif itu jadi partai penting yang lagi-lagi unjuk gigi, merangsek naik.
Siapapun yang memimpin, tetap berharap membela rakyat Jerman (dan seperti biasa, dunia) supaya tetap sehat dan sejahtera lahir batin.
Saya? Tetap kangen Indonesia ... hiks. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H