Yup. Untuk melihat air terjun yang ada di balik bebatuan, butuh perjuangan. Kalau musim kering, tambah susah karena air terjunnya nggak segede/sederas musim hujan. Tambah pemandu, tidak bisa terlihat dari tempat biasa tapi agak menjorok. Itu bisa dicapai dengan cara; berenang.
Ohhhh, ampun. Bukan saya banget. Air? Ohhhh ...nggak, deh.
"Pak, ada tikus nggak pak."
"Ada, mbak, biasa kalau malam. Sekarang ini pasti pada ngumpet di bolongan batu-batu."
"Kalau ada tikus, ada ular, dong."
"Iya, mbak tapi kalau malam aja keluarnya." Si bapak menenangkan saya yang makin pucat disuruh terjun oleh suami, ke air yang tidak sejernih swimming pool.
Mana satu pemandu cerita bahwa sudah ada korban yang meninggal di sana. Yaaaaah, nggak deh. Motret aja. Akhirnya saya sendirian, keempat anggota keluarga kami ditemani satu pemandu, terjun dari batu. Masuk air. Saya? Jagain barang-barang berharga dan baju keluarga.
Hmm... nggak ada kedai, nggak ada kursi. Saya duduk di atas batu besar. Kurang gawean, saya motret ini-itu. Denger-denger, sudah banyak turis yang HP atau kameranya jatuh ke dalam air karena lupa masih di saku celana ketika terjun atau nggak hati-hati waktu memotret. Walaaah. Saya harus hati-hati.
Tak berapa lama, datang seorang turis dari Barcelona bersama seorang pria. Berani amat, sendirian. Melihat keluarga kami sudah pada berenang, ia segera melepas baju. Byakkkkk! Haaa, bikiniiiii.
"You jump first ...." Si mbak berambut hitam menyuruh pemandu buat lompat duluan.
"Why? Are you afraid?" Pemandu bertampang khas Flores itu meledek sambil ketawa.