Anda tahu lagu "That's what friends are for" yang dinyanyikan Dion Warwick sama Stevie Wonder? Lagu yang sangat bermakna dan mengingatkan siapa saja bahwa tetangga adalah saudara yang terdekat dan teman adalah orang yang ada ketika dibutuhkan. Kalau saya butuh Anda, Anda nggak bisa bantu berarti bukan teman. Hahaha. Yang namanya teman, ada bukan hanya ketika berbagi bahagia tapi juga kesusahan. Bukannya berteman hanya karena butuh dan menjauh ketika sudah mendapatkannya. Tetap saling kontak. Dan lagi, saling memberi dan saling menerima.
Nah, barangkali prinsip-prinsip itu pula yang saya ingat ketika saya ke Jepara. Ingat betul bahwa teman saya waktu kuliah di pasca sarjana dulu ada yang jadi kajur bahasa Inggris di Unisnu. Pak Yusak!
Segera saya kirim whatsapp kepada beliau, menceritakan kedatangan kami berlima untuk berlibur di Jepara. Kalau cuma happy-happy family, kok rasanya kurang greng. Bagaimana kalau bikin workshop dengan mahasiswanya? Saya bisa berbagi pengalaman menulis buku, mengajar bahasa Inggris orang Jerman dan berharap generasi muda itu dapat semangat baru.
Pak Yusak menyambungkan saya dengan CELE, itu organisasi anak kampus UNISU yang belajar bahasa Inggris. Ada FB nya juga, lho. Keren. Cas-cis-cussss.
Singkat cerita, rencana jadi. Saya dijadwalkan pada tanggal 23 Agustus 2017 sebagai pembicara dengan tema; "Explore Your English Through Life's Experience" di gedung hijau.
Exciting! Tarik!
Jangan Lupa Senangkan Diri
Setelah pembukaan dengan doa-doa dan himne CELE, saya mulai isi acara. Ampun! Rupanya USB stick saya nggak bisa terbaca! Kata Moderator, laptopnya jadul. Haaa ... padahal tadi sudah diingatkan suami buat bawa Mac Book tapi saya tolak karena panitia dua hari sebelumnya bilang laptop sudah disediakan di ruangan.
Mendatangkan teknisi Unisnu, pak Yusak juga sudah memasukkan USB ke notebook pribadinya, panitia juga tak henti-henti utak-utik. Helppppp! Tetep nggak bisa. Segera saya telepon suami, supaya membawakan laptop sekaligus say hello.
Diengggg... begitu keluarga saya datang ... peserta, khususnya yang anak putri heboh. Hahaha ... alamat ada acara selfie sebelum mereka pergi.
Syukurlah, setelah setengah jam telat dimulai, workshop saya isi. Sebelum kasih tip soal menulis, saya cerita tentang pengalaman mengajar bahasa Inggris. What? Haha ... iya, meski Janglish, orang Jerman respek kok dengan tenaga pengajar dari Indonesia. Kalau nggak, mana mungkin dapat murid. Apalagi mereka itu berusia di atas 60 tahun.
Nah, dalam sharing tentangnya, saya tekankan salah satu benang merah bahwa masing-masing mahasiswa untuk tidak lupa menyenangkan diri sendiri. Itu akan membuat seseorang memiliki jiwa bukan kosong. Dengan apa? Dengan hobi. Karena yang namanya hobi pasti karena faktor ketertarikan dan kesukaan. So, enjoysekali.
Kalau saya suka sekali dengan bahasa Inggris sejak SMP. Meski pas-pasan, saya gaya banget sampai meneruskan pendidikan tinggi dan menjadi guru bahasa Inggris mulai di TK sampai universitas selama di tanah air. Akhirnya, ketika di luar negeri pun, Tuhan memberi jalan ke sana. Jadi Englisch Leiterin.
Bagaimana dengan mereka? Yang suka makan dan masak, bisa hobi di dapur. Yang care tanaman, ayo ... rawat kebun. Yang tangannya terampil, segera bikin hasta karya. Yang seneng nulis? Buruan ngeblog, kirim artikel ke media atau bikin buku! Nuliiis, ayo nulisss.
Bisanya Ngomong Nggak Bisa Nulis! Pijimana?
"I speak a lot but to write something is my handicap. I can't write any word. What should I do?" Begitu tanya seorang mahasiswi dalam bahasa Inggris.
Workshop memang gawean CELE (College of English Language Education) Universitas Islam NU Jepara. Jadinya, bahasa yang kami gunakan dari jam 08.00-12.00 adalah bahasa Inggris. Ya, amplooop. Sudah lama tidak, karena terbiasa menggunakan bahasa Jerman selama di Jerman dan sedikit bahasa Indonesia bersama keluarga dan teman dekat. Agak lupa bahasa linggis.
Ya, sudah, saya berusaha sekuat tenaga untuk nggak menggigit lidah karena harus pakai bahasa Inggris full. Enaknya memang pakai bahasa Jawa. Hahahaha ....
OK, tanpa ba-bi-bu saya bagi pengalaman sebagai penulis pemula. Memulai menulis di media sejak umur 18 tahun. Tulisan pertama saya di sebuah buletin PMI Jateng tahun 1994. Setelah itu, saya coba Trend, Suara Merdeka, Seputar Semarang dan lainnya. Termasuk nulis buku pada tahun 2001 sampai ... entah kapan.
Dasarnya, saya ini orangnya tukang ngomong, cereweeeet banget. Ihhhh, kayak burung dikasih kroto atau semut angkrang warna merah. Ditambah pengalaman cuap-cuap di radio selama 11 tahun dengan record siaran seharian penuh dari jam 05.00 sampai 24.00. Jaman krismon itu, semua pada males siaran karena gajinya nunggak tapi sayanya yang masih semangka.
Untuk ngomong dan nulis, meski jauh dari kata sempurna, saya bisa dua-duanya. Kalau bisanya ngomong ajanggak bisa nulis? Banyak lho, orang yang seperti itu. Seperti mahasiswi tadi. Sudah ngobrol seharian, eee ... disuruh menuliskan apa yang baru saja diomongin, si Komo lewat.
Trik saya bagi pada peserta workshop: "speak-record-replay-write-read-edit!"
Jadinya kalau pas ngomong dengan tema tertentu, rekam dengan smartphone. Jaman sekarang anak muda mana yang nggak bawa gadget ke mana-mana. Ke toilet saja ikuuuut. Ya, nggak?
Setelah itu, putar ulang dan dengarkan dengan seksama. Tulis per kalimat. Play, pause, write ... play, pause, write ... dan seterusnya sampai hasil rekaman habis.
Jika sudah ditulis semua, baca. Ketika menemukan kata atau kalimat yang nggak pas, hapus atau ganti. Seandainya nggak puas dibaca sendiri? Ajak teman baca juga bolehhhh tapi butuh waktu lama yaaa. Membaca jadikan orang seksama. Atur kronologisnya kalau kurang pas. Tukar paragrafnya. Rapi!
Hasilnya? Wow, sudah ada berapa halaman? Ajaib kan?
***
Itu tadi pengalaman saya mengisi workshop ketiga kalinya di Jepara. Satu hal yang paling saya suka; bahwa saya berbagi ilmu dan pengalaman serta bermanfaat. Wefie dan tanda tangan kek artis, itu bonus. Hahaha.
Terakhir, terima kasih saya haturkan kepada pak Yusak dan CELE serta 60 peserta workshop. It was a great time. You're awesome!
Mohon maaf saya sendiri yang nggak pakai jilbab, gundulan. Padahal sudah ngepak satu ekstra dari Jerman tapi ketinggalan di Semarang. Tur panjang Semarang-Magelang-Yogya-Solo-Sragen-Jepara amat panjang sampai ada barang penting yang lupa. Kebangeten. Saya pengen menghormati teman-teman semuanya di sana, biar seragam. Semoga dimaklumi dan lain kali wajib ingat.
Eit. Jangan lupa, mulailah menulis. Yang sudah nulis, lanjutkan! Ketemu lagi di acara workshop tema lainnya, segera .... (G76).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H