"Bukalah sepatu, tanpa alas kaki lebih mudah," kata pemandu. Betul, teman-teman. Rupanya justru lebih mudah mencengkeram tanah kering dan bebatuan yang ada.
Aduuuhh, jauh sampai puncak. Eh, nggak boleh patah semangat mendaki dan tetap hati-hati.
Begitu sampai atas, wow! Amboi, indahnya! Seperti surga dunia. Segera jeprat-jepret dan bergaya bersama keluarga. Anak-anak yang tadinya rewel selama perjalanan dari bawah ke atas, mulai ceria. Hahaha. Panas terik matahari tak terasa, padahal kulit sudah mulai gelap juga.
Setelah itu, kami turun dan berkeliling pantai, mengenal medan. Tampak para wisatawan lokal dan asing wara-wiri menikmati pasir putih, mencari kerang dan berenang.
Sampai tiba sesi snorkeling. Diengggggg. Saya masih takut, saudara-saudara. No. Geleng kepala, saya nggak mau ikut. Keukeuhhh.
Seumur-umur belum pernah snorkeling, meski ada pemandu, tetaaap saja takut, ah. Coba deh. Ketika suami ngajarin, nggak bisa-bisa, tuh. Ditarik ke air eee ... jejeritan dan melarikan diri ke kapal. Dasar ibuk-ibuuuk.
Nggak heran, anak-anak dan bapaknya nyerah, masuk air lagi dan asyik snorkeling. Sepi, sunyi, senyap, sendiri, dahhh.
Sampai di sebuah titik, saya ngiler. Pulau terakhir (Kelor) itu, rupanya mampu menarik hati saya untuk ikutan snorkeling. Yaealah, dari kemarin-kemarinnya takut banget dan nggak yakin bisa. Kemudian, Entah kenapa, ada kekuatan yang muncul dari diri. Mungkin begitu lihat jernihnya air yang bisa bikin mata menembus pemandangan karang. Barangkali karena pemikiran mumpung di Flores, kalau nggak sekarang, kapan lagi? Dari Jerman jauuuhhhh.
Segera saya pasang alat-alat, mulai dari masker dan snorkel berbentuk J, pelampung dan kaki katak atau sirip selam.