Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Begini Gambaran Rumah Pengungsi di Jerman

29 Mei 2017   16:41 Diperbarui: 29 Mei 2017   18:43 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 10 Maret. Waaaah Jumat yang sibuk. Mulai dari pagi-pagi bikin dua kue ultah; stroberi sama satunya, coklat ... masak untuk makan siang lalu antar jemput anak-anak klub ini-itu. Mana bakal ada tamu lagi, jatahnya bersih-bersihhhhh.

Pukul 16.00. Gelisah euyyy. Tamu nggak datang-datang. Memang tamu bilang kira-kira jam 16.00-17.00. Lah jam pirooooo, tepatnya? Ini Jerman, bukan?

Yo wisss, dandan. Mau pergi ke rumah pengungsi di Jerman saja. Soalnya, dari majalah kampung, ada pengumuman bahwa pada tanggal 10 Maret 2017 ada opening house, sebelum rumah dihuni para pengungsi, kami boleh masuk. Bahkan diskusi tentang pengungsi sudah diadakan seminggu sebelumnya. Sayang, nggak ikut.

Nah ... begitu mau keluar rumah, ehhh tamunya datang. Haduhhh ... Akhirnya cari akal, mengajak tamu sekalian untuk jalan-jalan ke sana. Kan nggak jauh dari rumah dan biar orang Jerman juga banyak yang datang ke sana.

Dalam perjalanan, terasa dingin meski matahari masih nongol malu-malu. Untung bawa jaket dan syal supaya angin nggak menggigit kulit. Saya tempel suami biar anget, pegangan tangan.

Tak berapa lama, kami sampai juga di bangunan panjang yang sekilas mirip gudang pabrik, seperti gudang pabrik di depannya. Bangunan yang dikatakan sebagai Flüchtlingsheim itu berada paling bontot, di luar tanda batas wilayah. Pemandangannya? Luar biasa. Gunung Karpfen! Wie im Urlaub, seperti di tempat peristirahatan. Tapi tunggu ....

Apa saja fasilitas untuk pengungsi di Jerman?

Pernah ada orang Indonesia yang tanya saya “Mengapa untuk visa masuk ke Jerman saja susah, banyak yang ditolak, lah kok akhir-akhir ini banyak pengungsi yang dimudahkan?“

Bukankah itu keputusan politik Angela Merkel untuk membuka kran bagi para pengungsi. Meskipun demikian, saya ngeri lihat TV dan cerita dari para pengungsi itu sendiri, bagaimana mereka melarikan diri dari negaranya, menyeberang laut dengan kapal sederhana, jatuh ke laut (ada yang selamat, ada yang mati).

Leticia adalah salah satu pengungsi di daerah kami, yang jatuh ke laut bersama kedua anak balitanya dan selamat! Bahkan bayi dalam kandungannya, berhasil lahir di Jerman. Saya elus bayi perempuan umur 2 bulan itu. Mata beloknya sangat menawan. Senyumnya mengembang. Oalah, nak, kamu beruntung. Malaikat menyelamatkanmu.

Lalu, setiba di Jerman, apa saja yang mereka dapatkan selama di Jerman?

Jika ada apa-apa bisa menghubungi Hausmeister (dok.Gana)
Jika ada apa-apa bisa menghubungi Hausmeister (dok.Gana)
Peraturan dalam berbagai bahasa (dok.Gana)
Peraturan dalam berbagai bahasa (dok.Gana)

Tempat mencuci bersama (dok.Gana)
Tempat mencuci bersama (dok.Gana)
Ruang pertemuan/baca/hobi (dok.Gana)
Ruang pertemuan/baca/hobi (dok.Gana)

Mesin pemanas ruangan (dok.Gana)
Mesin pemanas ruangan (dok.Gana)
Pemandangan indah dari tempat penampungan (dok.gana)
Pemandangan indah dari tempat penampungan (dok.gana)

1. Papan

Bangunan yang berdiri di kampung kami itu, disebutkan memakan bea 1,7 milyar euro. Uang yang tidak sedikit. Pastinya diambilkan dari dana negara seperti pajak. Ya, Jerman negara banyak pajak A-Z, deh.

Biasanya, desa atau kota yang memiliki bangunan kosong seperti barak tentara/wamil, gudang pabrik, balai pameran atau Kinderheim (tempat khusus untuk anak-anak bermasalah atau mengalami KDRT dan sejenisnya) akan mengalihfungsikan bangunan tersebut sebagai tempat pengungsi. Mengapa harus buang duit bangun baru? Bahkan banyak gedung yang tak terpakai itu kemudian mangkrak, rusak dan dirobohkan! Lhadalah. Kamar untuk mereka yang masih single ada di lantai dua, di mana satu kamar dengan 2 tempat tidur single dan kamar mandi/toilet bersama.  Sedangkan keluarga (lengkap) di bawah, ruangannya berisi lima dipan besi dan kamar mandi untuk satu keluarga. Dapur umum, tempat cuci baju umum dan tempat makan umum ada di lantai satu juga. 

Parabola (dok.gana)
Parabola (dok.gana)
2. Informasi

Sebuah antena TV terpasang sebelum anak tangga menuju lantai atas. Lantai atas, itu lantai yang pertama ingin kami jelajahi. Di sana, sudah ada seorang pria berbadan besar menanti. Mengucap selamat sore dan bilang kalau ada pertanyaan, akan dia jawab. Katanya, si bapak dari Landratsamt, kantor pemda setempat.

Tamu kami bertanya padanya, ada berapa orang yang akan ditampung di sana. Rupanya ada 70 orang. Pembagiannya ditentukan oleh pusat, tiap daerah kebagian. Namun, sampai 10 Maret itu, baru 53 yang konfirmasi. Terdiri dari 45 orang dari Suriah, Afrika dan 2 orang dari China. Eh, China?

Beberapa hari setelah 10 Maret, dalam perdebatan di kelas bahasa Jerman, saya menanyakan definisi Flüchtlinge yang dipelihara oleh negara Bundesrepublik Deutschland. Taksiran bahwa hanya dari negara perang, ternyata nggak sesuai kenyataan.  Bukankah di China nggak ada perang? Bahkan banyak pabrik sedunia ada di sana. Negara yang ekonominya saya taksir, sudah sangat kuat.

Salah seorang teman sekelas dari Rumania yang mendapatkan ijin tinggal tak terbatas dari Jerman, memiliki opini bahwa barangkali 2 orang China itu adalah eksodus dengan alasan pribadi, ekonomi keluarga. Bagi saya sah-sah saja dari negara mana saja tapi tentu, nggak semestinya mendapatkan tunjangan dari pemda tapi harus bekerja keras!

3. Uang tunjangan perbulan

Balik ke penampungan, saat berada di sana, si bapak petugas mengatakan bahwa Jerman memperlakukan mereka sepertihalnya Hartz IV, pengangguran yang dipelihara oleh negara dengan fasilitas uang tunjangan dan sebagainya.

Waktu saya tanya apakah mereka akan diberikan uang kursus bahasa Jerman gratis, dijawab “Tidak“.

Kasihan, padahal tahun 2006 ketika saya (yang ikut suami) masuk Jerman saja, dapat tuh yang namanya tunjangan 100€ per bulan untuk membayar uang kursus bahasa Jerman B1? Artinya, dari 600€ hanya bayar 500€  untuk satu paket B1. Bahasa Jerman itu susah tapi penting!

Selang beberapa bulan kemudian, yakni Jumat, 27 Mei 2017 sekitar pukul 22.00, saya mengajak tamu dari Indonesia untuk mengunjungi tempat penampungan orang asing yang ada di Jerman. Saya pikir itu akan membuka wawasannya. Begitu keliling, kami bertemu dengan beberapa orang Afrika yang sedang duduk-duduk. Saya sapa mereka, kami dipersilakan duduk. Nggak hanya itu, ada gula dengan teh Afrika untuk kami. Mengapa gula dengan teh? Karena rasa gulanya dominan. Walhasil, Abraham yang sudah tiga tahun di Jerman membuang separoh teh dan meminta Muhamad untuk menambahkan air panas. Haha, jadilah teh Afrika dengan rasa yang pas.

Selama ngobrol, saya tanya berapa Abraham dapat uang dari pemda. Ia mengaku dapat 404€ saja dan mengangkat bahu atas pertanyaan saya “Uang segitu sampai mana?“ Saya tahu, di Jerman untuk mendapatkan gaji 400€/bulan tanpa pajak, setidaknya harus bekerja selama 4 jaman/hari. Kalau mereka sudah mendapatkan 404, sudah bagus. Kalau saya yang dikasih, kurang. Makanya, I wonder.

Muhamad juga nggak menjelaskan bagaimana ia membayar uang kursus bahasa Jerman di kota dengan uang tunjangan. Makanya, saya tawarkan kepada mereka untuk kursus bahasa Jerman dengan saya. Pertama karena mereka semua berbahasa Inggris dan saya bisa berkomunikasi dengan itu. Kedua, meski bukan penutur asli bahasa Jerman (tambah bahasa Jerman saya masih grotal-gratul), saya punya pengalaman mengajar orang Jerman belajar bahasa Inggris sejak 2012. Seenggaknya sudah tahu caranya. Ketiga, kasihan ibu-ibu dan anak-anak yang belum atau bahkan nggak bisa berbahasa Jerman. Untuk berintegrasi di Jerman dibutuhkan kemampuan bahasa, setidaknya untuk percakapan sehari-hari. Saya masih ingat tahun pertama di Jerman, tanpa teman, tanpa saudara, tanpa bahasa Jerman sedikitpun. Olala, sesaknya dunia!

Tempat masak bersama (dok.Gana)
Tempat masak bersama (dok.Gana)
Tempat makan bersama (dok.Gana)
Tempat makan bersama (dok.Gana)
Daging segar (dok-Gana)
Daging segar (dok-Gana)
Wefie bareng istri Muhamad (dok.Gana)
Wefie bareng istri Muhamad (dok.Gana)
4. Pangan

Selain disumbang organisasi, pengungsi membelanjakan tunjangan dari pemda untuk makan dan minum. Sering saya senyum melihat para pengungsi keluar dari toko, wajahnya gembira menenteng tas plastik berisi barang belanjaan. Tuhan memberkati mereka.

Di Jerman banyak organisasi sosial, salah satunya TAFEL. Mereka ini mengumpulkan makanan yang hampir kadaluwarsa di seluruh toko atau swalayan. Misalnya buah yang agak kegencet tapi masih layak konsumsi. Daripada dibuang? Mereka membagikan kepada yang memerlukan.

Diberitakan di TV bahwa Jerman termasuk negara yang sangat royal buang makanan di sampah bio, hanya karena kadaluwarsa (dengan kondisi masih layak konsumsi) atau karena memang tidak mau dimakan. Sedih ya....

Dari kunjungan ke tempat penampungan, saya jadi paham. Makanan para pengungsi harus diupayakan sendiri, dari uang sponsor tadi. Tersedia dapur umum yang layak dan ruang makan bersama. Sebelum mereka masuk ke rumah itu, kondisi masih baru, bagus dan bersih. Semoga tetap dijaga bersama. Banyak media yang memberitakan betapa sembrono dan kurang tertibnya pengungsi dalam menjaga fasilitas, sampai rumah pengungsi hangus terbakar. Bisa dari rokok atau kompor ....

Di daerah kami, ada satu toko kecil yang menyediakan kebutuhan sembako dan sehari-hari lainnya. Komplit. Termasuk toko roti, toko daging, depot minuman, 2 bank, SPBU, klinik dokter umum, cafe dan resto.

Namun rupanya, orang Afrika masih membawa kebiasaan dari negerinya. Istri Muhamad yang sedang mengiris daging sapi, saya dekati. Muhamad menjelaskan bahwa daging itu dibeli di toko khusus bagi orang Afrika, di kota. Alasannya, orang Afrika kebiasa makan daging potong fresh, nggak suka beli di toko Jerman yang stok lama.

Eh, kalau motong dagingnya jam 22.00 an makannya jam berapa? Ohh, rupanya mereka kebiasa terlambat makan malam. Kami disuruh menunggu sampai masak dan makan bersama, tapi hari sudah larut. Kami pilih pamit.

5. Sandang

Pada awal kedatangan, masyarakat Jerman memberikan bantuan berupa pakaian pantas pakai kepada para pengungsi.

Waktu ngobrol dengan Leticia, saudara perempuan Abraham, saya tanya dia, darimana mendapatkan baju untuk ketiga anaknya. Katanya dari kota. Pernah beberapa kali saya lihat orang Afrika pada masuk toko secondhand dari Caritas, lembaga sosial yang didukung gereja. Di sana harga murah (1 € an) dan kondisi barang masih prima dan layak pakai.

Apa tanggapan masyarakat terhadap pengungsi?

Biasalah, ada yang pro dan kontra. Ada yang mendukung, ada juga yang anti. Nggak heran kalau partai AFD-Alternative für Deutschland banyak fansnya dan beberapa kali demo anti pengungsi. Sedangkan yang mendukung keputusan kanselir, mereka ini banyak memberikan bantuan

Hmm. Saya ingat, seorang teman di kelas mengatakan, sebagai orang Suriah ia merasa malu ketika bertemu seorang pengungsi dari negaranya yang memiliki anak banyak dan mengatakan bahwa ia sangat senang diterima dan berada di Jerman. Selain negara sosis ini lebih aman, nyaman, ada sokongan dari pemerintah untuk anak-anaknya. Paling tidak ada 1500€ ia dapat untuk kelima anaknya. Itu yang menjadi alasan ia malas cari kerja. Teman saya yang banting tulang cari pekerjaan ke sana-ke mari jadi nggak enak hati sendiri. Ada yang susah payah bertahan di Jerman, kok, ada yang menyalahgunakan fasilitas Jerman? Itu opininya.

Sementara itu, seorang teman dari Slovakia mengaku ia paham mengapa ada orang Jerman yang anti pengungsi. Salah satu tetangganya yang orang Jerman, dipecat dari pekerjaan hanya karena sehari nggak masuk kerja. Sedangkan menurutnya, pengungsi ditampung tapi nggak diijinkan untuk bekerja.

Beberapa orang Jerman yang pernah saya tanyai, ada yang setuju, tidak setuju dan nggak peduli. Yang nggak setuju karena bayar pajak yang mahal dan merasa dibuang untuk dibagi kepada pengungsi. Yang setuju karena itu untuk kemanusiaan, hal yang baik. Yang nggak peduli, karena masih banyak hal penting lainnya di dunia ini yang harus dipikirkan ketimbang soal pengungsi.

Sebenarnya, pemerintah Jerman sudah menyediakan program pekerjaan untuk pengungsi berupa Ein-Euro-Jobs. Pekerjaan yang upahnya 1€ sejam itu pastinya akan menambah jumlah pengungsi yang mampu mendapat pekerjaan tetap di Jerman. Menurut web Zeit on line yang pernah saya baca, banyak pengungsi yang akan mendapatkan pekerjaan tetap itu setelah 5 tahun tinggal di Jerman. (G76).

P.s: Mari bersyukur atas apapun yang kita punya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun