Balik ke penampungan, saat berada di sana, si bapak petugas mengatakan bahwa Jerman memperlakukan mereka sepertihalnya Hartz IV, pengangguran yang dipelihara oleh negara dengan fasilitas uang tunjangan dan sebagainya.
Waktu saya tanya apakah mereka akan diberikan uang kursus bahasa Jerman gratis, dijawab “Tidak“.
Kasihan, padahal tahun 2006 ketika saya (yang ikut suami) masuk Jerman saja, dapat tuh yang namanya tunjangan 100€ per bulan untuk membayar uang kursus bahasa Jerman B1? Artinya, dari 600€ hanya bayar 500€ untuk satu paket B1. Bahasa Jerman itu susah tapi penting!
Selang beberapa bulan kemudian, yakni Jumat, 27 Mei 2017 sekitar pukul 22.00, saya mengajak tamu dari Indonesia untuk mengunjungi tempat penampungan orang asing yang ada di Jerman. Saya pikir itu akan membuka wawasannya. Begitu keliling, kami bertemu dengan beberapa orang Afrika yang sedang duduk-duduk. Saya sapa mereka, kami dipersilakan duduk. Nggak hanya itu, ada gula dengan teh Afrika untuk kami. Mengapa gula dengan teh? Karena rasa gulanya dominan. Walhasil, Abraham yang sudah tiga tahun di Jerman membuang separoh teh dan meminta Muhamad untuk menambahkan air panas. Haha, jadilah teh Afrika dengan rasa yang pas.
Selama ngobrol, saya tanya berapa Abraham dapat uang dari pemda. Ia mengaku dapat 404€ saja dan mengangkat bahu atas pertanyaan saya “Uang segitu sampai mana?“ Saya tahu, di Jerman untuk mendapatkan gaji 400€/bulan tanpa pajak, setidaknya harus bekerja selama 4 jaman/hari. Kalau mereka sudah mendapatkan 404, sudah bagus. Kalau saya yang dikasih, kurang. Makanya, I wonder.
Muhamad juga nggak menjelaskan bagaimana ia membayar uang kursus bahasa Jerman di kota dengan uang tunjangan. Makanya, saya tawarkan kepada mereka untuk kursus bahasa Jerman dengan saya. Pertama karena mereka semua berbahasa Inggris dan saya bisa berkomunikasi dengan itu. Kedua, meski bukan penutur asli bahasa Jerman (tambah bahasa Jerman saya masih grotal-gratul), saya punya pengalaman mengajar orang Jerman belajar bahasa Inggris sejak 2012. Seenggaknya sudah tahu caranya. Ketiga, kasihan ibu-ibu dan anak-anak yang belum atau bahkan nggak bisa berbahasa Jerman. Untuk berintegrasi di Jerman dibutuhkan kemampuan bahasa, setidaknya untuk percakapan sehari-hari. Saya masih ingat tahun pertama di Jerman, tanpa teman, tanpa saudara, tanpa bahasa Jerman sedikitpun. Olala, sesaknya dunia!
Selain disumbang organisasi, pengungsi membelanjakan tunjangan dari pemda untuk makan dan minum. Sering saya senyum melihat para pengungsi keluar dari toko, wajahnya gembira menenteng tas plastik berisi barang belanjaan. Tuhan memberkati mereka.
Di Jerman banyak organisasi sosial, salah satunya TAFEL. Mereka ini mengumpulkan makanan yang hampir kadaluwarsa di seluruh toko atau swalayan. Misalnya buah yang agak kegencet tapi masih layak konsumsi. Daripada dibuang? Mereka membagikan kepada yang memerlukan.
Diberitakan di TV bahwa Jerman termasuk negara yang sangat royal buang makanan di sampah bio, hanya karena kadaluwarsa (dengan kondisi masih layak konsumsi) atau karena memang tidak mau dimakan. Sedih ya....
Dari kunjungan ke tempat penampungan, saya jadi paham. Makanan para pengungsi harus diupayakan sendiri, dari uang sponsor tadi. Tersedia dapur umum yang layak dan ruang makan bersama. Sebelum mereka masuk ke rumah itu, kondisi masih baru, bagus dan bersih. Semoga tetap dijaga bersama. Banyak media yang memberitakan betapa sembrono dan kurang tertibnya pengungsi dalam menjaga fasilitas, sampai rumah pengungsi hangus terbakar. Bisa dari rokok atau kompor ....
Di daerah kami, ada satu toko kecil yang menyediakan kebutuhan sembako dan sehari-hari lainnya. Komplit. Termasuk toko roti, toko daging, depot minuman, 2 bank, SPBU, klinik dokter umum, cafe dan resto.