OMG ... Terperangkap di dalam sebuah lift! Saya lihat seorang ibu dengan anaknya, sepasang pengantin baru, seorang pria gendut, seorang wanita tua, seorang pria dari Iran, seorang ibu hamil dan seorang kakek (orang kaya) pemilik perusahaan. Kira-kira merekalah yang saya ingat, yang terperangkap di dalam lift selama berjam-jam.
Rasanya pasti pengap, sesak, panas dan takut! Pengap dan tambah bikin muntah karena seorang ibu hamil yang biasanya memiliki kondisi lemah, mau pipis. Akhirnya jongkok dan BAK di tas tangan yang ia bawa. Anak kecil yang ada di sekitarnya, ditutupi matanya oleh sang bunda, nggak boleh lihat. Saru.
Perempuan pengantin baru itu akhirnya tahu suaminya, ada affair dengan si wanita hamil yang barusan kencing.
Tambah heboh karena ada yang bilang ada bom di dalam lift yang stuck. Seorang Iran dituding orang-orang di situ bahwa dialah sang teroris. Meski sudah lama di Amerika, tetap saja diduga ada hubungannya dengan teror yang terjadi hari itu. Marah, doooong.
Akhirnya terbukti, si wanita tua itulah yang membawa bom. Ketika ia kehilangan nafas dan terjatuh mati di lantai lift, di tubuhnya ditemukan .... bom!
Lewat komunikasi yang dibina dengan teknisi dan SWAT, akhirnya ada sebuah lubang kecil yang berhasil dibuka, satu persatu semua berhasil keluar, kecuali salah satu penumpang yang kegendutan. Ini adalah efek khusus “kesehatan itu nomor satu dan penting.“ Kalau overweight tak hanya mengganggu kesehatan tapi juga membahayakan masa depan. Akhirnya, pria itulah yang menunggu bom si mayat wanita tua meledak. Hancur. Serem!
Tenaaaang, itu hanya gambaran cerita film Hollywood yang saya tonton.
Apakah itu hanya cerita khayalan aka fantasi? Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Semua bisa terjadi atas takdir-Nya. Kunfayakun kata orang Arab.
Nah, Kompasianer pernah mengalaminya? Saya pernah! Thanks God. I’m one of elevator accident’s survivors in this world.Allah Maha Besar. Semua baik-baik saja.
Lantas, apa yang harus kita lakukan kalau itu benar-benar terjadi pada diri kita?
1. Panik boleh tapi tetap tenang
Waktu itu, saya yang habis pulang siaran dan orang-orang yang kelar belanja di Matahari Plasa Simpang Lima Semarang. Ada di dalam lift.
Kalau terjebak di dalam lift hanya dalam hitungan detik atau menit, mungkin tidak separah ketika jam-jaman di dalam ruangan sempit dengan banyak orang dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Kalau lama kan selain hati was-was, pikiran jelek juga udara menipis. Ughh.
Yak. Panik boleh tapi tetap tenang dan berdoa pada-Nya sesuai agama dan keyakinan masing-masing. Jadi ingat yang belum sholat lah, yang lupa sedekah lah, yang... yahhh pokoknya jadi bersalah dan aneh-aneh lah pikirannya kalau terjebak di lift tuuuuh.
Kepanikan akan membuat pikiran orang black out alias “auk ah gelap.“
Kepanikan akan memancing emosi orang yang terjebak di dalam lift sehingga memicu perseteruan yang sebenarnya hal sepele tapi jadi gawe. Membuat kerusuhan akut. Contohnya ada di dalam film tadi bahwa salah satu penumpang yang tidak bersalah, diduga teroris hanya karena berasal dari negara teroris. Stereotype. Rame deh.
2. Tekan tombol komunikasi
Di dalam dinding lift biasanya ada kotak aluminium dengan bolong-bolong lubang kecil dan tombol. Tekanlah jika kondisi mengharuskannya. Tombol bukan untuk mainan atau mempermainkan teknisi yang jaga, jika darurat saja.
Telepon genggam biasanya tidak ada sinyal, jadinya useless kalau dipakai. Tambah serem lagi kalau sudah tidak bisa dipakai ... low batt lagi. Biyunggg!
Tombol komunikasi di dalam lift itu terhubung dengan pos jaga teknisi atau alat komunikasi teknisi.
Saat komunikasi terjalin. Usahakan hanya satu yang bicara diantara penumpang. Kalau ngomong semua, cit cit cuit kayak burung dalam sangkar, informasi tentang apa yang terjadi dan bagaimana kelanjutannya jadi tidak terdengar. Payah kan?
Sepertihalnya di dalam film Hollywood tadi, kecelakaan lift yang terjadi pada saya (kami), hanya salah satu penumpang yang bicara. Lainnya hening.
3. Koordinasikan rescue strategy/process dengan baik
Dalam film Amrik tadi, rescue dilakukan oleh tim profesional karena menyangkut teror bom hingga sabotase lift. Prosesi penyelamatan harus tetap teratur. Siapa yang didahulukan? Anak-anak dulu, ibu hamil, orang tua, baru yang muda dan itu tadi ... yang tidak bisa keluar ... tetap di tempat. Tim penyelamat di atas membantu dari atas, penumpang lainnya, membantu dari bawah. Jangan saling dorong atau rebutan.
Sedangkan dalam kejadian yang saya alami, kecelakaan lift lebih pada kesalahan teknis. Saya taksir lift sudah tua dan kurang dirawat. Bahkan beberapa tahun memang sempat ada pengurangan jam operasi lift karena penghematan listrik di mall itu.
Karena lift berhenti tidak tepat di pintu, teknisi menurunkan atau tepatnya menyetarakan posisi kabin lift dengan pintu lift sejajar. Teknisi akhirnya membuka pintu lift secara manual. Kami keluar seperti lumrahnya tidak terjadi kecelakaan lift.
Oh, ya. Rasanya berada di lift yang diturunkan secara mendadak tadi, seperti turbulence pesawat atau ketika Kompasianer naik mobil naik turun bukit dengan jalan yang naek turun. Mak serrrr di perut. Eh, copooot. Mana tahaaan.
4. Lain kali jika memungkinkan, gunakanlah anak tangga atau tangga berjalan daripada lift
Pernah bekerja di lantai XI selama 7 tahun di mall itu dan mengalami sekali kecelakaan lift yang relatif lama waktunya, membuat saya agak trauma dan justru merasa senang ketika ada penghematan penggunaan lift. Akhirnya hanya bisa sampai lantai VII dengan lift. Kalau mau sampai lantai XI engklek alias jalan kaki. Atau tangga berjalan sampai lantai V dan jalan kaki sampai lantai XI. Kaki bisa mbledhos dan keringetan sebelum nyap-nyap di depan microphone. Yaelahhhhh.....
OK. Nggak pakai lift tapi anak tangga. Pertama memang sehat karena jalan kaki. Lama-lama jadi merinding karena dari lantai VII baru ada kehidupan di lantai XI. Hiyyy. Lantai VIII-X tidak ada kantor atau orang. Takut disapa makhluk halus, ya ampunnnn nelangsa. Apalagi ada cerita bunuh diri di lantai VII waktu itu. Orang terjun bebas di sana, stress lalu meninggal seketika.
***
Baiklah. Memang tidak semua orang diberi cobaan mengalami kecelakaan lift di dunia ini. Artikel ini sekedar share. Kalau dipendam sendiri, rugi bandarrrrr.
Hmmmmm ... dari pengalaman kecelakaan itu, saya jadi nggak takut kalau sekali-kali diajak teknisi mall Semarang itu, untuk naik di atas kabin lantas pegang talinya dan turun pelan-pelan. Kann sudah mengalami yang lebih parah. Hehehe. Pengalaman tak terlupakan. Sebagai ucapan rasa terima kasih, besoknya teknisi yang pendiam itu (lupa namanya) dikirim lagu bagus dan salam dari udara. Hahaha. Impas. Toss duluuuu.
OK. Semoga pengalaman saya ini bermanfaat, jika suatu hari terjadi ... sudah tahu harus bagaimana kan. Pihak manajemen dan teknisi yang melayani orang dengan fasilitas lift apalagi yang lantainya banyak, semoga menjadi pelajaran dan menjaga kualitas. "Der Kunde ist König", pembeli adalah raja atau costumer sangat penting dilayani dengan baik laksana raja.
Salam sehat dan bahagia.(G76).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H