Gana kecil itu gendut, pipi makin tembem dengan poni model batok kelapa dibelah, kulit sawu busuk dan pendek. Ya amplop! Sadar, ternyata memang ada perbaikan keturunan dari gen suami. Anak-anak tergolong cantik dan imut, nggak kayak emaknya.
Ah, sejak kecil, suka mengamati ibu ketika berdandan. Sambil ingusnya naik-turun, menengadahkan kepala sambil mengingat-ingat urutan cara berdandan. Susu pembersih, cairan penyegar, alas bedak, bedak padat, bedak tabur lalu memoles alis, eye shadow, maskara dan blush-on.
Ibu termasuk sering memakai kain dan pergi kondangan atau acara tradisional. Berdiri di sekitar ibu, sangat menyenangkan, sampai detik terakhir memakai kain batik. Jaman sekarang, orang paling demen ke salon untuk paket komplit. Apalagi untuk acara Kartinian, kondangan atau lainnya. Kurang hemat kali ya, kalau tiap hari.
Hmm. Seiring dengan berjalannya waktu, saya suka dandan. Sejak SMA, kelas tiga mulai pakai lotion, bedak, pelumas bibir (bukan lipstik) sampai minyak wangi dan menyisir rambut. Tetapi tetap saja kalau Kartinian, ibu yang dandanin.
Pada masa kuliah, nyambi memeras keringat cari uang buat bayar SPP. Mulailah pakai rok, sepatu hak tinggi, poles bibir dengan lipstik serta bermain warna kalem untuk eye shadow dan pemerah pipi.
Bikin sasak dan pasang sanggul sendiri
Sebagai perempuan Jawa, jaman dahulu kan nggak ada salon ya. Mulai dari eyang buyut sampai ibu, bisa menyasak rambut, pasang sanggul dan pakai kain batik sendiri. Oh, tinggal di Jerman, alamat harus mandiri. Ya, udah, bikin sendiri. Dicoba, pasti bisa ... gagal? Coba lagi...
Alat-alat yang dibutuhkan: sisir sasak, hairspray, jepit rambut dan karet gelang.
Cara saya mungkin beda dengan salon:
Pertama ambil bagian depan rambut mulai dari telinga kiri sampai telinga kanan, berbanding lurus dengan uyeng-uyeng aka pusar rambut.
Ambil sedikit rambut itu dari kiri ke kanan atau sebaliknya. Jepit bagian rambut depan itu, supaya tidak mengganggu.