Di gardu ini aku duduk. Sendiri. Mengamati sesuatu yang bergerak-gerak di seberang sana. Sebuah rumah besar di pinggir jalan, dengan tiga pilar model Eropa dan balkon ala Romeo and Juliet di lantai duanya.
Lihatlah! Jendela kacanya membuatku begitu leluasa memandangi sebuah siluet. Jendela yang dulu, sengaja aku desain untuk mempersilakan mentari masuk tanpa permisi. Menghangatkan ruangan tanpa api.
Aku dalam hening. Jalanan sepi. Hari sudah kian temaram.
Ohhhh, Juliana! Ia masih berdiri di depan kaca, memegangi sebuah cangkir yang dulu pernah jadi cangkir bahagiaku. Bahagia sebab kami selalu berbagi.
Pandangannya kosong menembus tirai yang tersingkap sedikit. Perempuan yang pernah kumiliki sepuluh tahun lamanya itu tak melihatku. Ingin kuhampiri gadisku itu.
Tiba-tiba dari belakang, seorang lelaki berbadan macho melingkarkan lengannya di pinggang ramping yang dulu selalu kuhangati dengan tangan ringkihku. Niatku urung!
Secepat itukah kehadiran pria penggantiku? Aku sangsi jika Juliana menikmatinya sungguh-sungguh. Aku yakin, tak akan pernah ada pria yang bisa membagiakannya seperti caraku.
Aku tak kuasa memandang ke depan. Kepalaku tertunduk. Butiran halus mulai berjatuhan. Kucoba usap beberapa kali. Entah mengapa, aku tak mampu mengeringkannya. Air kesedihan itu seolah membasahi baju putihku tapi nyatanya, kuraba kering di dada.
Kuratapi sedihnya perpisahan kami. Perpisahan terencana yang masih meninggalkan luka di hati.
***
Tanggal 13 Februari, jam 7 malam. Hari ini aku kembali lagi duduk di gardu depan rumahku. Rumahku? Aku membelinya dengan hasil keringatku, sampai suatu hari aku pinta Juliana menemani hari-hari sepiku. Aku yakin, masih ada namaku tersurat di sana. Aku tak pernah menggantinya sampai hari ini. Mustahil Juliana mengubahnya, pasca kepergianku sebulan yang lalu.