Sejam sudah kuamati. Siluet di depan kaca sana hanya ada satu. Pria yang berani merampok hati Juliana tidak hadir hari ini.
Kuberanikan diri menyeret langkahku menuju rumah nomor 13. Ahhhh, aku lupa. Aku tak punya kunci lagi! Kupukul kepalaku tanpa mampu mengaduh.
Aku ingin masuk. Tanganku yang menggenggam setangkai mawar layu, gemetar memencet bel pintu warna merah hati. Itu warna kesukaan Juliana.
Tuhan! Pencetan tanganku tak mampu menimbulkan bunyi. Pintu tentu saja tidak asal terbuka.
“Guk-guk-guk“ Tangannya mencakar pintu. Memang tidak ada nada bel yang terdengar. Namun rupanya Papsi, anjing penjaga kami itu tahu, aku hendak masuk. Anjing hebat.
“Papsi, diam! Sini ....“ Juliana berusaha menenangkan Papsi. Anjing tinggi besar itu menjauh dari pintu utama dan mendekati Juliana. Penjaga rumahku itu memang patuh. Ia terduduk di antara kedua kaki panjang Juliana, matanya melirik ke arah pintu lagi lalu melengos dan menutup mata. Aku sedih, aku bukan tuannya lagi. Teganya Papsi, mengacuhkanku di luar bersama dinginnya angin malam.
“Juliana ....“ Suaraku kuat memanggil namanya dari depan pintu.
Juliana terhenyak. Ia berlari. Permata hatiku itu pasti mendengar suaraku. Kepalanya melongok, membelah malam. Mencari sosok yang memanggilnya tadi di antara taman batu. Ya, aku! Ini aku, Patrick!
“Patrick?“ Juliana menyebut namaku. Olalaaaa. Seperti ada kupu-kupu yang menari di perutku. Suara biduannya menyejukkan jiwaku yang menghitam.
Sayang, kepalanya masih saja mencari-cari sesuatu yang tidak juga ketemu. Hidungnya mengendus-endus, aku yakin dari bau semerbak mawar ungu yang kubawa sejak berjam-jam yang lalu.
“Juliana?“ Kupanggil lagi namanya. Ya, Tuhan! Piyama favorit itu, mempersilakanku menikmati lekuk tubuhnya, semauku. Seumur hidupku, tak pernah ada komando memeluk tubuhnya yang seksi. Biasanya, Juliana akan tertawa kecil.