Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Belajar Main Ski dalam Sehari? Bisa!

26 Januari 2017   17:34 Diperbarui: 26 Januari 2017   22:33 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indahnya salju, romantis euy! (dok.Gana)

“Buk, hari ini kita main ski, yuk...“ Jleb! Oh, no! Ski? Saya kann dari Indonesiaaaa, negara yang kaya akan lautan dan ... matahari!

Suami kok ya, kasih pertanyaan mendadak yang bikin deg-degan. Lebih deg-degan ketimbang waktu dulu dia tanya “Would you marry me?“ Segera saya putar otak, hmmm, bagaimana caranya bisa ngeles, ya? Ahhhhhh ...

“Nggak bisa, pak. Sore ini ada kelas. Weekend sajalah....“ Sambil berharap weekend ada tamu. Haha.

Anak Jerman belajar main ski dari dini

Rupanya, tipikal keras kepala orang Jerman ada padanya. Suami tetep berangkat sama anak-anak hari itu. Alasannya, anak ragil belum bisa ski harus ditraining di tempat ski yang kelas rendah. Kalau Sabtu mau ke tempat ski yang agak stylig,rada curam bagi profi, sudah lancar nggak malu-maluin. Ya, sutralahhh. Kami berpisah. Satunya ngalor, satunya ngidul.

Beberapa jam kemudian, kelas saya bubarkan. Suami mengirim video di Whatsapp. Memamerkan kehebatan anak bungsu, bermain ski. Wahhh seru! Bisa, ya belajar ski dalam sehari. Yup. Selama tiga jam dari pukul 14.00-17.00, anak belajar dari nol sampai bisa! Alhamdulillahhhh.

Caranya, mula-mula naik lift ke atas bukit bersama bapaknya. Setelah sampai puncak, meluncur pelan bersama. Posisi anak, di bagian dalam kaki suami saya. Tangan anak memegang tangan bapak, yang memegang tongkat.

“Syuhhhhh ....“ Mendarat sampai tempat pemberangkatan lift. Begitu berulang-ulang, sampai ada keberanian untuk meluncur sendiri. Yuhuuu.

Anak bungsu ini memang beda. Ia bilang masih takut main ski, sampai hari itu bilang “Mau belajar.“ Beda dengan kedua kakaknya yang sudah mulai belajar main ski sejak TK dan pernah ikut kursus. Ia baru memulai ketika berumur 8 tahun, di mana kedua kakaknya sudah pada mahir. Sudah telaaaat tapi saya ingat, tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik.

Nahhh ... makanya, kalau Kompasianer ke tempat main ski di Jerman, jangan heran kalau lihat anak-anak balita yang sudah bisa berdiri itu pada main ski. Jangan sampai bilang “Ya, ampun, nak... makannya apa ya? Anak siapa ini? Main ski nya pinter banget dan nggak takut, tuh!“

Iya. Saya pernah geleng kepala lihat anak-anak Kompasianer Eberle yang baru umuran 3-4 tahun meluncur kenceng dengan sepatu ski, papan dan tongkatnya. Yaelahh ... nggak takut jatoh? Tante Gana kalah, nih ...

Mereka pernah ikut kursus main ski di Kinderhotel, nggak tahu berapa. Untuk kursus ski bagi orang dewasa misalnya, di Engelberg menawarkan 80 CHF/jam  (sekitar Rp 1.200.000). Untung kami nggak buang uang karena guru privatnya suami/ayah. Maka dari itu, anak-anak Jerman yang lain akan sering diajak orang tuanya main ski dekat rumah, sejak dini. Iya, sih pakai acara nangis karena jatuh. Ada yang ngambek karena nggak bisa-bisa. Ada yang ditali di dada dan meluncur sendiri, orang tua memegang ujung tali demi mengatur kecepatan. Ada yang digeret pakai tongkat. Heboooh! “Ein Indianer kennt kein Schmerz“, suku Indian itu gagah berani.

Lift model bangku (dok.Gana)
Lift model bangku (dok.Gana)
Lift Gondel untuk 8 orang, 640 kg (dok.Gana)
Lift Gondel untuk 8 orang, 640 kg (dok.Gana)
Belajar main ski dalam sehari

Saya? Idiiiih, malu. Sudah ibuk-ibuk tapi belum bisa main ski seperti anak-anak kecil Jerman ituhh.

“Ayo, jangan main salju saja. Main ski, yuk dari atas“ Suami maksa. Saya pandang wajahnya yang ganteng, lalu melempar mata ke bukit di atas sana. Astagagagana! Saya harus naik sampai pucuk lalu meluncur? Nggak salaaaah? Kalau jatuh gimana? Sudah malu dihina tetangga.

Etapi... kok, ya saya nurut saja seperti sapi dicocok hidung.

“Tit-tit“ bunyi kartu yang didekatkan pada mesin sehingga pintu menuju lift terbuka. Kartu harian untuk keluarga lebih murah. Harga memang macam-macam. Misalnya di Engelberg, Swiss dibandrol 65€/orang. Di Spaichingen, Jerman 6€/dewasa dan 4€/anak. Sedangkan di Belchen, Jerman dipatok 45€ satu keluarga. Ada harga ada rupa.

Start (dok.Gana)
Start (dok.Gana)
Finish (dok.Gana)
Finish (dok.Gana)
Pukul 12.30.

Kami berempatpun naik lift menuju atas. Sampai di puncak, sudah banyak orang kayak pasar tiban.

“Idih, nanti kalau jatuh malu ah, pak“ Start-nya agak curam. Di depan start berdiri banyak orang dari anak-anak sampai oma-opa. Di belakangnya lagi, ada restoran, banyak orang duduk-duduk. Ihhh, tolong!

“Kenapa? Oraopopo“ Ia mencoba meredupkan mata saya yang mulai melotot mau copot, memandang jalan bersalju yang kemiringannya lumayan bikin ngeri itu.

Setelah bisik-bisik, kami meluncur bersama. Haha ... tangan saya memegang kenceng tangan suami sampai tak mau lepas. Saking takutnya, badan bukannya tegak malah ke belakang. Suami bingung, saya berat juga ya.

Nah, beberapa meter ke depan, dilepas, saya berhasil jatuh dengan elegan. Nyungsep di gundukan salju. Yaelahhh ... jadi snowman. Sakit banget tapi malu mau nangis atau mau teriak. Ya, sudah berdiri lagi. Coba lagi! Di tikungan, jatuh lagi. Bangun lagi. Lanjottt sampai titik darah penghabisan.

Eh, bagaimana cara berdiri kalau sudah jatuh dengan papan ski?

Tongkat masih menggantung di tangan karena ada tali pengait. Saya arahkan kedua kaki sejajar, salah satu menjadi tumpuan untuk berdiri. Jika jalan turun, saya usahakan ke kanan atau ke kiri bukan ke depan atau ke belakang yang searah dengan jalur luncur, supaya tidak melorot atau meluncur begitu berdiri.

Suami masih nunggu di belakang saya dan memberi instruksi jalan lagi.

“Sendiri, ya?“

“Haaaah, sendiriii ... pijimanaaaa?“ Anak-anak ikut berhenti, dengan posisi kaki dan papan “Pizza“ atau membentuk kerucut di mana kedua ujung papan bertemu di depan. Mereka jaga-jaga di sebelah kiri, di mana jurang menunggu. Maksudnya kalau saya melorot ke sana, ada yang jagain. Mereka tahu, mamanya belum bisa dan takutnya setengah mati. Sampai kaki bergetar. Ya ampuuuun.

Segera saya coba lagi, kali ini meluncur tidak dengan posisi papan dan kaki sejajar tapi Pizza. Artinya, ada rem pakem yang saya "pasang" di kaki, atas dorongan energi dari atas meluncur ke bawah.

Pukul 14.00.

Pantat rasanya kram, kaki rasanya mau meletus, jantung dag dig dug der. Saya memutuskan untuk berhenti. Mau nafas dulu. Pilih meluncur di tempat belajar anak-anak di depan pintu pemberangkatan lift. Sayang, untuk naik ke atas, nggak ada lift ... jadinya harus melepas papan dan menggotongnya ke atas. Dipasang lagi, luncur lagi dan seterusnya. Capeekkkk, deh.

Pukul 15.00.

Memandang ke atas. Gunung di sana masih tinggi, putih dan terkesan angkuh. Huh! Saya memutuskan untuk mencoba “menaklukkan“ lagi. Sudah ada feeling lumayan antara saya, sepatu, papan dan tongkat. Sudah bisa seimbang.

“Lagi, buk?“

“Iya, tapi pelan-pelan ya, pak. Jangan ditinggal.“ Kayak mau ke mana saja, takut ditinggal di padang salju. Saya pun coba lagi, meluncur sendiri dari start sampai finish. Toh, rombongan pengapit (suami dan anak-anak) ada di sekitar saya. Dari ketinggian 1414 meter, kami sudah sampai bawah. Titik nol. Aman!

Siyappp! Acara main ski dilanjutkan lagi. Lagi dan lagi. Nggak pakai acara jatuh bangun lagi. Sudah tahu medan. Sudah paham pula kendali kaki, papan, pantat dan tongkat.

Minum coklat panas dulu di 1414 m (dok.Gana)
Minum coklat panas dulu di 1414 m (dok.Gana)
Skihutte, tempat makan dan minum (dok.Gana)
Skihutte, tempat makan dan minum (dok.Gana)
Pukul 16.58

“Kurang dua menit lagi“ Petugas berteriak. Pintu lift akan segera ditutup. Tidak ada seorangpun yang diperbolehkan naik pada pukul 17.00. Feierabend alias tutup warung.

Cepat-cepat kami berempat melewati mesin dan masuk ke kabin, Gondel. Yaaaa ... bisa. Kami sudah sampai ke atas beberapa menit kemudian. Untuk kesekian kalinya kami sudah naik turun gunung. Waktunya minum coklat panas sembari menikmati keindahan dari atas, mumpung matahari belum terbenam. Biasanya selalu ada resto atau Skihutte di tempat main ski.

“Srrrrrrt“ Sedap sekali.

Cangkir sudah kosong. Perut sudah hangat. Waktunya main ski lagi. Auf die Plätze, fertig ... los!“

Tak berapa lama, kami meluncur ke bawah untuk terakhir kali. Memilih jalan, Piste yang tidak sukar (biru, bukan merah atau hitam). Lalu belok ke jalur yang punya kemiringan yang biasa dipakai orang untuk Schlittenfahren, meluncur dengan alat khusus prosotan.

Sudah tak ada lagi perasaan takut jatuh, luncuran sudah bisa melenggok ke kiri dan ke kanan. Caranya, jika ingin ke kanan, miringkan papan kiri ke arah kanan dan sebaliknya. Kedua papan posisi lurus, untuk menambah kecepatan luncur atau mengayuh dengan tongkat. Membuat posisi pizza jika ingin mengerem luncuran. Sebagai pemula, biar lambat asal selamat lahhh.

Indahnya salju, romantis euy! (dok.Gana)
Indahnya salju, romantis euy! (dok.Gana)
Akhirnya bisaaaa! (dok.Gana)
Akhirnya bisaaaa! (dok.Gana)
Horeee ... main ski! (dok.Gana)
Horeee ... main ski! (dok.Gana)
Apa saja yang dibutuhkan dalam main ski?

Tuh, seru dan tertarik kann main ski? Kalau mau coba, pasti bisa. Mau?

Apa saja yang harus Kompasianer siapkan? Pertama baju dalam. Biar nggak masuk angin, dong. Selama main ski, kita menantang angin, kan? Nah, baju dalam ini bisa didapatkan di toko-toko retail Jerman (Aldi, Lidl, Netto dan lainnya) dengan harga 7€ an satu set. Baju dalam dua potong itu panjang semua, tipis, berbahan seperti kaos olahraga tapi mampu memberi jalan pernafasan kulit lancar.

Setelah itu kaos dan celana panjang, pakai pullover dan dilapisi dengan jaket dan celana ski. Biar tidak basah dan hangat.

Ketiga, untuk bagian kaki, pakai kaos kaki sampai lutut dari bahan wol atau katun, khusus untuk main ski. Sepatu khusus ski mirip punya robot. Biasanya kaitan sepatu ada tiga, ada pula yang hanya satu di belakang. Memakainya memang agak repot, kadang ada orang yang butuh Shoelöffel, sendok khusus untuk membantu memasukkan kaki ke dalam sepatu.

Begitu kaki masuk sepatu dan berjalan, jalannya jadi lucu, deh. Mirip Robocop. Tambah komplit miripnya karena harus pakai helm demi keamanan. Ada pula yang menambahkan kacamata ski demi menghindari pencahayaan yang terlalu tajam dari sinar matahari vs salju putih.

Banyak orang yang nggak pakai syal. Saya paling demen bawa biar nggak masuk angin. Syal itu untuk melindungi bagian leher yang terbuka. Kecuali jika pullover atau kaos yang dipakai berkerah tertutup dan tinggi. Sarung tangan untuk melindungi telapak tangan biar tidak disilat sembilu.

Berikutnya adalah papan ski. Papan panjang itu ukurannya berbeda satu orang dengan orang lainnya. Perbedaan terletak pada seberapa tinggi pemakai. Jangan lupa mengingat bagian yang lebih elips depan, ujung yang hanya melengkung pendek bagian belakang. Masukkan sepatu ke papan, dimulai dari penekanan bagian depan dulu, baru belakang. Tunggu  sampai bunyi “klik“.

Begitu pula dengan tongkat. Ketinggiannya beda-beda. Tongkat saya lebih tinggi dari punya anak, tongkat suami apa lagi ... maaaaangkin panjang. Kalau terlalu pendek, bisa bungkuklah badan, sebab terlalu rendah.

Eh, carinya di mana dong?

Biasanya barang-barang itu dijual musiman kalau mau winter atau ya ... di toko khusus ski, bursa ski (second, lebih murah dan banyak pilihan) atau toko olahraga. Kalau di toko retail Jerman bisa tetep dapet murah dengan kualitas terjamin.

Bagaimanaaa, sudah siap belajar main ski dalam sehari? The wall is your fear, the door is your will. Badan bisa saja linu seminggu but anyway, enjoy skiing! Now or never. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun