Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

4 Hal yang Perlu Anda Tahu tentang Bahasa Feminin dan Bahasa Maskulin

20 Januari 2017   17:50 Diperbarui: 20 Januari 2017   19:48 2105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Beberapa waktu yang lalu, kami membahas “Frauensprache-Männersprache“, bahasa perempuan dan bahasa laki-laki. Guru bahasa Jerman kami yang pensiunan guru Gymnasium di kota sangat antusias mengajak kami untuk mengupasnya hari itu. Kami sama-sama mendengarkan percakapan dua ahli bahasa (laki-laki dan perempuan) bersama pewawancara, dari CD. Ditemukan beberapa catatan antara lain:

1. Laki-laki dan perempuan memiliki tendensi berbeda bahasa.

Contoh, suatu hari seorang ibu kos berkata kepada anak kosnya, “Wah, bunga di dalam ruanganmu layu. Sepertinya ia kekurangan air.“ Atau bisa juga dalam contoh bahasa Jerman (“Man müsste mal die Blumen gießen“ atau “Die Blumen müssten mal gegossen werden“).

Dasar anak kos, laki-laki lagi. Ia menjawab, “Wah, iya. Aku seminggu banyak ujian, nggak ada waktu. Sekarang aku malas mengerjakannya.“

Harapan ibu kos bahwa bunga itu segera disiram, tidak terkabulkan. Seharusnya, bahasa ibu kos yang disarankan adalah, “Tolong, sekarang kamu siram bunga di dalam ruanganmu. Sayang kalau nanti mati.“ Dalam bahasa Jerman bisa mak jleb (“Gieß doch bitte die Blumen!“, “Gießt die Blumen“, “Du sollst jetzt endlich die Blumen Gießen“ atau “Du gießt jetzt die Blumen!“). Dijamin anak kos akan menyiramnya, kalau tidak, suruh kos tempat lain saja atau pindah ke hutan! Malas, dipiara. Huh.

Saya ngakak ketika Pak Guru bilang begitu. Kemudian saya mengemukakan pendapat bahwa bahasa saya dan suami (yang seatap, sekasur, sehati, senasib-sepenanggungan) juga kadang beda. Belahan jiwa saya itu memang termasuk super rajin dibandingkan suami-suami teman-teman saya tapi ya, gitu, kalau tidak disuruh ya... tidak dikerjakan. Kalau hanya rasan-rasan atau ngomong-ngomong biasa, tidak akan ada tindakan. Kalau ada permintaan atau menyuruh, akan terjadi sesuatu. Maksudnya, harus ada bahasa perintah langsung tanpa tedeng aling-aling, seperti ibu kos kepada anak kos tadi.

Misalnya, “Wah, Pak, seharusnya hiasan natal ini sudah ada di gudang ya. Ini, kan sudah bulan Januari.“

Diperbaiki dengan, “Pak, tolong dibantuin angkat hiasan natal ke gudang, ya?“

Bagaimana dengan pengalaman Kompasianer?

2. Jika terlibat sebuah percakapan, perempuan yang biasanya paling sering memotong pembicaraan.

Hahaha. Merasa tersenggol sampai kejlungup. Iya, ya. Suami saya selalu bilang, ngomong sama kamu payah. Suka memotong pembicaraan.

Perempuan dianggap punya perasaan gatal tingkat akut dan ingin meledak jika lawan bicara mengeluarkan pendapat yang tidak sesuai dengan isi hati dan pikiran. Keinginan untuk memotong pembicaraan demi menyangkalnya dikatakan lebih besar daripada laki-laki, bahkan bertendensi menyerang.

Kebanyakan perempuan dituding bersumbu pendek. Tidak sabar menunggu giliran untuk berbicara, pada waktunya. Walaupun demikian, bersyukurlah jika Kompasianer perempuan termasuk penyabar dan tidak mudah terpancing dengan kalimat orang lain.

3. Dalam sebuah percakapan antara laki-laki dan perempuan, akan tercipta sebuah kompetisi.

Film remaja rilisan Jerman “Bibi und Tina: Mädchen gegen Jungs“ pernah ngetren di umuran anak-anak kami. Mana ada anak-anak Jerman yang tidak tahu film itu? Film yang diambil dari buku Bettina Börgerding cs itu menggambarkan bagaimana anak-anak dan remaja sudah mulai memiliki perbedaan dalam penyampaian bahasa. Gender banget! Dalam percakapan, selalu muncul konflik karena ingin saling mengungguli bahwa anak laki-laki lebih hebat daripada anak perempuan dan sebaliknya.

Film yang juga mendapat kritikan dari masyarakat (yang tidak sepaham dengan pembedaan laki-laki dan perempuan). Pada dasarnya di dunia ini, semuanya sama, semuanya bisa bekerja sama! 

Barangkali itu juga yang tertangkap dalam film Jerman yang mengangkat pubertas Bibi, sang tokoh. Bagaimana ia bisa marah saat anak-anak laki-laki tetap menganggap bahwa anak perempuan hanya bisa jadi cheerleaders, bukan pemain rubi. Sampai suatu ketika, Bibi jadi pemain cadangan dan luar biasa mencetak angka.... Sayangnya, karena ia dikenal sebagai Hexe atau penyihir, kemenangannya dianggap curang dengan magic.

Bahasanya, “Mana bisa kamu menang? Perempuan kan nggak bisa apa-apa. Kamu pasti curang!“ Sebaiknya diganti dengan, “Bibi... kalau benar kamu tidak menggunakan sihirmu, berarti kamu sudah membuktikan bahwa perempuan bisa bermain rubi bagus seperti laki-laki tapi bersaing dengan sehat.“ Adegan dalam film tampak jelas bagaimana Bibi memandu teman-temannya untuk menunjukkan kepada tim laki-laki dalam sebuah perkemahan bahwa perempuan juga bisa mengungguli laki-laki.

Percakapan yang mirip bisa saja terjadi pada pasangan suami-istri:

Suami: Tanpa aku, kita tidak akan punya anak.

Istri: Lho, Papa ini... kan ada pasutri yang nggak punya anak. Berarti tanpa istri yang memang punya kantong rahim dan dijatah hamil, nggak mungkin dong sperma hidup dan ketemu ovum.

Suami: Ada lho, jutaan sperma laki-laki yang loyo dan mati sebelum ketemu ovum. Punyaku jagoan!

Istri: Lah, ada kok bank sperma, aku bisa beli.

Suami: Eeee ... mau cari laki lain ya ... awas kamu kalau berani, Ma!

Obrolan yang berkesan adanya kompetisi untuk memilih siapa yang paling penting sedunia. Jadi ingat perbincangan “Mana yang duluan, ayam dulu atau telur?“ Menurut saya, Tuhan tidak menciptakan telur, tapi ayam ciptaan Tuhanlah yang menurunkan telur. Ada mekanismenya.

4. Untuk memperbaiki komunikasi antara laki-laki dan perempuan, harus ada penyesuaian.

Karena laki-laki dan perempuan diciptakan untuk berpasang-pasangan, adalah indah kalau keduanya mampu berkomunikasi dengan baik dan benar. Sayangnya, perbedaan bahasa membuatnya sukar dan membutuhkan itikad saling menyesuaikan. Tepo slira memahami bahasa masing-masing akan membuat perempuan memahami apa yang dikatakan laki-laki dan sebaliknya.

Dengan begitu, istri bisa memaklumi kalimat lugas suaminya. Sedangkan suami, bisa menangkap maksud perkataan istri yang sering njlimet bertele-tele tapi tetap mampu menyenangkan hati istrinya.

***

Lho-lho... mengapa judul di atas bukan bahasa perempuan dan bahasa laki-laki melainkan bahasa feminin (yang terkesan menyenangkan bahkan kadang hati-hati) dan bahasa maskulin (to the point)? Rupanya di dunia ini tidak semua maskulin itu pasti laki-laki, tidak semua feminin itu merujuk perempuan. Sebab, ada juga laki-laki yang feminin dan perempuan yang maskulin. Tanpa mengurangi wujud wadag aslinya, gaya mereka berbeda... termasuk bahasanya itu. Bagaimana menurut Kompasianer?(G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun