Sabtu, 14 Januari 2017. Pagi-pagi sudah sarapan, berangkat ke gereja Evangelisch, Kristen di Tuttlingen. Ada undangan Ökumenischer Gottesdienst. Pertemuan di gereja yang mengundang jemaah Kristen, perwakilan semua agama/kepercayaan dan menampilkan diskusi dengan tokoh penting nasional atau internasional Jerman. Kali itu, yang diundang adalah Thomas Gottschalk.
Berita kehadirannya terpampang di koran lokal, beberapa hari sebelumnya. Mengharap banyak masyarakat yang tertarik. Tak ayal, suami saya sudah ancang-ancang dari kemarin-kemarin.
Yaaaa. Hari H itu, kami pun berangkat lebih awal dari jadwal yang ditentukan. Meskipun masih ada 15 menitan, yaoloh, gereja sudah penuh! Luar biasa kebiasaan kebanyakan orang Jerman, tidak on time tapi for time. Jangan berani-berani uji nyali pakai telat di negeri sosis, ya?!
Pernah saya amati TV yang mendokumentasikan hadirnya kelompok umat Islam dalam doa bersama atas teror yang terjadi di Perancis. Gereja itu mengundang semua umat berdoa bersama untuk ketenangan para korban yang kebanyakan masih muda. Terlihat beberapa perempuan berjilbab memenuhi gereja. Mungkinkah hal itu terjadi di belahan dunia lain?
Hmm ... Kejadian nyata tampak di depan mata saya. Iya, pada hari Sabtu itu. Mulanya saya tak percaya ketika pendeta membuka acara dan mengatakan bahwa tamu undangan yang hadir di antaranya adalah imam masjid di Tuttlingen dan para pengikutnya. “Mosooook, sih?“
Duduk di seberang altar, di belakang podium, nggak bisa lihat jelas ke arah belakang sana, di mana komunitas yang disebut itu dikatakan duduk. Apalagi lupa nggak bawa kacamata (rabun jauh). Aduhhhhh, tadi terburu-buru takut telat! Ah... percuma, kepala melongak-longok mencari sosok tadi. Tak juga kelihatan.
Kebetulan sekitar pukul 12 siang, ada dua tamu di gereja yang tiba-tiba berdiri dan meninggalkan tempat. Ya, mereka, dua perempuan berjilbab. Satunya berkerudung pink, satunya lagi hitam. Berarti memang kehadiran komunitas Islam bukan isapan jempol. Wow. Bukankah pertemuan itu indah?
Itu belum seberapa, rupanya setelah acara bubar sekitar pukul 12.30, tamu ada yang menuju tempat buffet (dengan sampanye dan snack), ada yang bercakap-cakap dengan sesama jemaah dan ... ada pula yang fotoan dengan Thomas Gottschalk!
Hey! Seorang pria berjas warna gelap merangsek dari kerumunan, mendekati Thomas Gottschalk yang berpakaian casual (kaos, cardigan tipis warna lila, syal motif kembang, celana kulit warna coklat dan sepatu runcing). Si bapak menjabat tangan Thomas dan kira-kira dalam bahasa Jerman mengatakan begini “Perkenalkan, saya imam masjid Turki. Senang bertemu denganmu di sini...“
Karena banyak orang yang ingin foto selfie atau wefie dengan Thomas, imam mengakhiri kalimat-kalimatnya daripada didusel-dusel orang banyak. Si bapak menghilang dengan cepatnya.
Saking terpesonanya menyaksikan kejadian itu, kok, ya saya lupa fotoooo! Maaf, ya tapi asli ini bukan hoax. Dasar speechless, membuat kamera HP nggak segera dipencet. Refleknya dol! OMG. Moment sudah bubar. Mata ini saja yang jadi saksi betapa indah kebersamaan yang tercipta pagi itu.
Eit. Apa saya lupa fotoan sama Thomas? Tentu tidak! Begitu pendeta menutup acara dan mengucapkan terima kasih kepada para tamu, khususnya Thomas, saya langsung berdiri buat nyelonong dan bilang ke suami:
“Pak, aku mau selfie sama Thomas. Mumpung nggak banyak orang. Ayo, ikut....“
Suami yang lagi santai duduk, kaget, segera beranjak dari kursi. Thomas sudah berdiri, di depannya, seorang gadis teenie berambut blonde asyik bercakap-cakap dengannya. Ia tidak minta foto, cuma tanya beberapa hal. Untung tidak tanya; “Minta Gummi Bärchen, dong“.
Saya pegang tangan kirinya dan berkata:
“Boleh selfie denganmu, Thomas?“ Iapun mengangguk, segera berpose. “Lihat kamera di sini, ya“ Jari saya menunjuk bagian atas HP supaya posisi mata kami hidup di kamera. Yahhh ... posisi horizontal nggak muat karena tinggi banget dia. Dua meteran kalii. HP vertikal. Cekrek! Jadi. Begitu mengucapkan terima kasih, ia mengulurkan tangan kiri. Mengapa bukan tangan kanan? Semua tangan memang baik, hanya saja dia bukan orang Jawa yang diajari untuk mengutamakan tangan kanan karena tangan kiri untuk cebok (saru). Ah, bukaaaan, mungkin karena tangan kanan Thomas lagi sibuk bawa sebuah tropi icon Tuttlingen dari perunggu pemberian pemda yang mirip piala Oscar bikinan ahli patung dari Tuttlingen. Entahlah, nggak mengamati. Sing penting happy menjabat tangan orang sukses. Siapa tahu ketularan. Huuuh .... ibuk-ibuuuuk!
Nah, setelah itu, ajang rebutan selfie berlangsung sangat ganas. Nggak bisa bayangin kram pipi Thomas, capek harus senyum terus. Begitulah kalau jadi public figur.
Jadi ingat, kalau acara talk show buku di tanah air usai, pasti diteruskan selfie-wefie dan tanda tangan. Mumpung dibutuhkan, dengan senang hati .... cieee. Nggak mau jual mahal, takut kuwalat ping sewu. Eh, sudah pada beli buku saya, “Exploring Hungary“? Tanda tangan Agustus, yak! Uhuk.
Pria berambut bule dan gondrong itu paling ngetop dari acara “Wetten, das ...?“ Acara yang pernah ngetrend itu ditinggalkannya. Apa pasal? Tidak sesuai dengan nurani. Sebagai pembawa acara, kadang ia tak tega atau tidak bisa mentolerir kejadian buruk atau kecelakaan yang terjadi dalam rangka acara pengejar rating itu. Misalnya, ada peserta harus meloncat di udara, resiko ditanggung peloncat dan beberapa tamu yang hadir (ada artis lokal bahkan internasional/Hollywood) dipersilakan menerka apakah peserta berhasil melakukannya atau tidak. Deg-degaaaaaannn!
Belakangan, pria kelahiran Bamberg tahun 1950 itu balik lagi ke dunia radio. Radioshow Bayern 1 adalah pilihannya. Hiks, jadi kangen siaran.
Oh. Mengapa penulis buku “Herbstblond“ tahun 2015 itu dipilih sebagai tokoh yang dihadirkan dalam pertemuan di gereja Tuttlingen? Saya yakin tak hanya ia adalah artis Jerman yang disukai masyarakat. Barangkali juga karena ia pernah jadi Ministranten, hamba gereja kota Unserer Lieben Frau. Bisa jadi karena ia pernah kerja sebagai pendamping anak dan remaja di sebuah gereja Katholik. Mungkin juga karena ia pernah dapat beasiswa dari gereja untuk kuliah. Atau karena ia menikah dengan perempuan, penganut Kristen? Pasti gereja punya alasan kuat dan tepat untuk memilih TG.
Dalam diskusi dengan pendeta, si "blonde musim gugur" itu menjawab banyak pertanyaan. Salah satunya tentang gelombang pengungsi di Jerman. Ia juga menyinggung peran media sosial seperti blog dan twitter sebagai saingan besar TV! Dulu orang suka nongkrongin TV jam-jaman? Sekarang, jatahnya sosial media! Yang belum gabung blog seperti Kompasiana, bersegeralah.
Satu lagi tentangnya, Thomas Gottschalk ini peduli banget dengan keluarganya. Sebagai artis yang banyak dikejar media dan tentu, fans, membuatnya menjual kastil Marienfels di Jerman dan pindah ke Malibu. Menghindari sorotan media terhadap kehidupan pribadinya dan kenyamanan anak-anak adalah salah dua penyebabnya. Yup. Yang bercita-cita jadi artis, semoga sudah siap mental. Indonesia penuh? Mau pindah mana? Jerman saja, deh. Haha. Jauh ding! (G76)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI