Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Tradisi Memuji Pohon Natal "Christbaum Loben"

13 Januari 2017   15:57 Diperbarui: 13 Januari 2017   19:29 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon natal abadi dari plastik (dok-Gana)

Sedih rasanya kalau dalam hidup ini, kebiasaan menghina, mengejek atau merendahkan orang lain lebih mudah hadir ketimbang memuji, menghormati, mengagungkan atau mengagumi. Begitulah kenyataan dalam hidup. Jadi, ingat pepatah “Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak.“ Kalau perlu, ada saja, orang yang mencari-cari kejelekan orang lain.

Pohon natal asli (dok.Gana)
Pohon natal asli (dok.Gana)
Hmm... apakah benar, menyanjung atau mengakui keunggulan orang lain tidak semua orang punya alias hanya sebuah anugerah? Kalau menurut hemat saya, harusnya itu jadi kebiasaan yang baik di jalan yang benar.

Ngomong apa, coba? Daripada pusing ping satus, saya ajak Kompasianer untuk menengok Jerman. Negeri yang sudah maju, modern dan canggih itu rupanya masih memelihara tradisi saling memuji. Eh, memuji? Iya, memuji pohon natal! Wisssss. Unik, tho?!

Pohon natal abadi dari plastik (dok-Gana)
Pohon natal abadi dari plastik (dok-Gana)
***

Seorang kakek umuran 65 tahun dari Tuttlingen menelpon suami saya, katanya, ia mengundang kami untuk datang. Acaranya? Christbaum Loben! Yaaaa, seperti tahun-tahun sebelumnya; dari rumah si kakek, ke rumah om lalu ke rumah budhe, lanjut ke rumah teman dan seterusnya. Dari rumah ke rumah. Ada juga kelompok yang ngadain lomba pohon natal terbaik dari kunjungan itu. Di mana yang dinilai total dari ketinggian pohon, jarum pohon, hiasan pohon, simetris, keaslian dan kerimbunannya. Lumrahnya, acara dilaksanakan dari hari natal sampai tanggal 6 Januari, yakni hari tiga raja (Die der Könige).

Tiba di rumah Onkel, kami duduk di sofa, menikmati kudapan (Christole, Plätzchen), lalu meski langit gelap mata pun berbintang-bintang ... memuji keindahan pohon natal mereka dan tentu, hiasan yang menggantung di sekitarnya.

Christbaum, Tannenbaum atau Weihnachtsbaum itu adalah pohon natal dari potongan pohon cemara. Yang paling disukai biasanya jenis Nordmanntanne yang nggak ganas jarumnya, kalau menyocok kulit. Pohon natal di Jerman itu tidak hanya berasal dari Jerman tapi dari Norwegia, Polandia, Ceko, Hungaria, Denmark, dan Austria. Harganya bersaing 10-20 an €. Dijual dengan tinggi kisaran 1,5 sampai 2 meteran.

Hiasan Weihnachtskugeln (bola-bola dari gelas), Lamette (kertas kerlap-kerlip dipotong tipis dan panjang), Engels (malaikat), Weihnachtsman (santa), Lichterketten (rangkaian lampu) ... oiiii indah! Kalau di Indonesia kan biasa plastik ya, pohonnya. Awet memang, seumur hidup tapi pakai pohon asli, pandangan mata jadi beda, lho!

Nah, usai acara memuji selesai, biasanya yang punya rumah mengeluarkan Snap, minuman keras dari bahan buah-buahan seperti Birne atau Apfel, yang dituangkan di gelas mini. Maklum, alkoholnya pasti tinggi jadi sedikit saja. Selain sebagai bentuk rasa terima kasih, Snap dianggap sebagai jamu, verdauung dari baksil atau penyakit di dalam tubuh dari makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia. Lah, kalau saya sudah mencium baunya udah mau pingsan. Maaf, tidak mau minum, takut ketagihan atau muntah....

Plätzchen, kek natal (dok.Gana)
Plätzchen, kek natal (dok.Gana)
Gelas mungil untuk Snap (dok.Gana)
Gelas mungil untuk Snap (dok.Gana)
***

Tradisi Christbaum Loben yang dimulai sejak abad 19 di Jerman ini mengingatkan saya akan tradisi minum teh masyarakat Jepang. Yang nggak paham budayanya pasti jemu. Lihatlah bagaimana santai dan lamanya tradisi minum teh itu dan bagaimana tamu memutar-mutar cangkir sebagai tanda mengagumi keindahan barang milik tuan rumah. Semakin kenceng sruputan tehnya, makin besar tanda rasa kagum. “Srrrrrttt ....Nikmat!“ Saya pikir, begitu unik cara Jepang mengajari orang untuk menyanjung orang lain. “Wahh, tehmu enak. Bikinnya gimana? Ajari dong ...“ atau ... “Wah, cangkirnya bagus, sukak ... beli di mana?“

Dalam Christbaum Loben sendiri, sangat mungkin tercipta kalimat-kalimat sanjungan indah seperti “Pohon natal milikmu sungguh memesona“, “Hiasannya unik, bikin sendiri? Wah, tekun dan kreatif sekali kamu“, “Pohon natalnya rimbun sekali, beli di mana dan berapa harganya?“ atau “Wow, lampu lip-lopnya keren. Tahun depan kami harus memasang lampu di pohon natal kami juga, deh“ dan seterusnya.

Budaya itu layak lestari dalam masyarakat Jerman. Sementara, baru saya temukan di Tuttlingen, Buchheim dan Hüfflingen. Artinya, sangat subur di negara bagian Bayern dan Baden-Württemberg. Bagaimana dengan 14 negara bagian Jerman lainnya?

Dalam perbincangan dengan guru bahasa Jerman saya tempo hari, ia menerangkan bahwa budaya Jerman banyak subur di tempat yang masyarakatnya menganut Katholik (Römisch Katholisch) sedangkan daerah yang banyak penduduk Evangelisch (Kristen), kebanyakan kurang menyetujui adanya budaya yang terlalu bebas dan terkoneksi dengan alkohol atau seks. Jadi paham, mengapa budaya seperti Fastnacht/Fasching/Fasnet atau Christbaum Loben di Jerman amat subur di satu tempat tapi tidak di tempat lain.  Betul, mayoritas Katholiknya sangat toleran dengan konsekuensi yang terjadi dalam budaya tersebut.

OK. Intinya, sebagai tukang yang sok mengamati budaya di dunia ini, rasanya rugi kalau saya lewatkan budaya unik yang ada di Jerman itu dan nggak bagi-bagi info di sini. Tak perlu mengikuti 100%, tak harus minum Congyangjus-nya. Iya, lihat pohon saja dan merangkai pujian manis untuk pemiliknya. Juga pahala, kan? Kalau peluk pohon, jangan ... bisa nyocok! (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun