Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Alami Pelecehan Seksual? Laporkan!

17 Desember 2016   16:54 Diperbarui: 18 Desember 2016   01:24 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelecehan seksual terhadap Marion (dok.Marion/Jetty)

Marion Bloem (62 tahun) melawat ke tanah air dalam rangka bedah bukunya “Moemie: Gadis Berusia Seratus Tahun“. Berangkat dari Belanda ke Indonesia, pasti tidak hanya urusan dana tapi juga semangat jiwa raga yang ia bawa dari Eropa! Di tengah keindahan Indonesia dan keasyikan tur bedah buku yang ia nikmati, rupanya ada noda yang membuat saya malu. Marion mengalami pelecehan seksual siang bolong di Solo dan pelaku masih berkeliaran!

Pelecehan seksual terhadap Marion (dok.Marion/Jetty)
Pelecehan seksual terhadap Marion (dok.Marion/Jetty)
Saya tahu bencana itu dari akun mbak Jetty Maika. Marion menulis status facebook itu pada tanggal 13 Desember 2016 (dan dishare 685 orang):

“Sebarkan AD-2791-QF. Laki-laki ini (terlihat punggung dan shoot plat nomor roda dua yang dikendarainya) telah melecehkan saya! Sebarkan informasi ini, tangkap dia, kirim dia ke terapi khusus bagi penderita kelainan seksual. Saya yakin dia telah mempermalukan ibu, nenek atau saudara-saudara perempuannya. Jangan biarkan dia bebas berkeliaran. Laki-laki inilah yang melakukan pelecehan seksual terhadap saya di Solo. Lokasinya di sekitar Jl. Selamet Riyadi, dekat stadion. Tangkap dia! Sebarkan berita ini kepada semua orang Indonesia. Laporkan ke polisi Solo tapi tolong jangan sukai postingan ini. Laki-laki itu harus mendapat terapi. Saya menikmati kunjungan ke Solo. Laki-laki itu tidak bisa mengubah kesan positif saya terhadap orang Solo tapi ini mengganggu pikiran saya. Saya geram mengapa sampai ada laki-laki seperti dia yang memiliki perilaku tidak senonoh seperti itu),"

Betapa kuat sekali efek curhat di media sosial. Dalam sekejap, Marion mendapat informasi tentang plat nomor yang berhasil difoto suaminya yang sempat mengejar pelaku. Bahkan media massa seperti Kompas, Tribun, Solo Pos dan lainnya segera mengangkat berita beberapa hari setelah postingan Marion di FB ditulis.

Pertanyaan saya adalah, mengapa Marion tidak melaporkan ke polisi? Saya ingat waktu kakak saya digebukin orang, keluarga kami mendorong dia cepat-cepat lapor ke pihak berwajib setempat. Setelah lapor polisi dan divisum dokter, pelaku berhasil diciduk dan dipenjara. Seandainya saja dia hanya periksa, bersembunyi dan tidak lapor, pasti pelaku masih berkeliaran waktu itu dan tidak kenal efek jera.

Begitu pula seharusnya dengan Marion. 

Saya pernah berkunjung ke tanah air dalam rangka bedah buku di kota-kota, paham alasannya tidak melaporkan polisi karena hanya beberapa hari di tanah air dalam rangka bedah buku karyanya. Harinya tidak banyak dan jadwal ketat. Marion punya gawe tanggal 15 Desember di Balai Soedjatmoko Solo dan 19 Desember di gedung Auditorium Widya Sabdha Denpasar. Perasaan khawatir harinya akan habis lapor sana-sini, bisa saya mengerti. Perjalanan Belanda-Indonesia itu sangat jauh, lebih jauh dari  perjalanan Jerman-Indonesia yang sering saya lakukan dan jadwal tinggal Marion sepertinya tidak lama. Mana dia harus kerja untuk literasi.

Pihak kepolisian sendiri, seperti yang ditulis media tersebut, menyayangkan jika Marion tidak melaporkan ke polisi. Logikanya jika tidak ada laporan korban, bagaimana polisi akan mengambil tindakan? Pasti kesulitan. Di lain sisi, jaman modern, laporan ke jejaring sosial berdampak lebih besar dari yang diduga. Kasus itu sudah menjadi konsumsi publik.

Barangkali memang lulusan jurusan psikologi universitas Utrecht, Belanda itu punya cara sendiri dalam menghukum pelaku atau menghadapi kasus yang dialaminya. Mengajak masyarakat aktif untuk melacak pelaku dan menghukumnya di dunia maya dengan share postingan. Berharap Marion akan melapor polisi,  supaya diproses kasusnya dan pelaku segera ditangkap lalu diterapi.

Menurut saya, Marion bukan orang sembarangan, keturunan Indonesia-Belanda itu adalah salah satu contoh perempuan di dunia yang memiliki karakter kuat. Ia berani mengunggah gambar dan mengajak teman-teman mayanya menjadikannya sebagai viral untuk menemukan pelaku dan tentu membuat orang semakin hati-hati dan waspada dengan kejadian yang sama!

Bagaimana dengan pribadi yang tidak sekuat Marion, penakut? Ada perempuan di dunia ini yang mengalami hal yang mirip,  mengurung diri dan menyimpannya untuk diri sendiri, malu dan takut membagikannya kepada masyarakat.

Das Hilfetelefon Gewalt gegen Frauen (Program Curhat Telepon Kekerasan Terhadap Perempuan)

Bagaimana dengan keadaan di Jerman? Negara maju dan modern ini, saya pikir memiliki banyak perempuan yang kuat, mandiri seperti Marion dan berbeda dengan Indonesia. Ternyata, saya salah. Fakta yang ditemukan oleh departemen keluarga dan masyarakat di Jerman sungguh mengejutkan:

  • Satu dari tiga perempuan dipengaruhi oleh kekerasan seksual dan atau fisik.
  • 25% wanita mengalami kekerasan seksual dan atau fisik dari pasangannya
  • Dua dari tiga perempuan Jerman pernah mengalami pelecehan seksual
  • 24% perempuan Jerman menjadi korban stalking.
  • 42% perempuan Jerman mengalami kekerasan fisik.

Tidak percaya? Ingat tidak kejadian malam tahun baru di Köln (Cologne) yang lalu di mana banyak perempuan muda yang mengalami pelecehan seksual di alun-alun kota? Demi mengantisipasi kejadian serupa, pemda dan polisi meningkatkan keamanan pada hari H pada malam tahun baru nanti.

Bagaimana pula nasib korban pelecehan seksual di Jerman tersebut?

1. Telepon

Adalah “Das Hilfetelefon (Gewalt gegen Frauen)“. Jerman tampaknya salah satu negara yang mengajarkan para korban pelecehan seksual atau kekerasan fisik dengan program yang menguatkan jiwa para korban. Program pemerintah seantero Republik Jerman untuk melindungi perempuan yang dulu pernah mengalami kekerasan seksual dan atau fisik, sampai perempuan yang masih mengalami hal itu sampai detik ini. Korban tinggal curhat di nomor (49) 08000116016.

Program gratisan dari pemerintah itu luar biasa karena melayani perempuan selama 365 hari setahun, 24 jam dan boleh anonym! Korban tak perlu khawatir identitasnya terbuka.

Konsultasi masalah hingga rujukan Rumah Perempuan (Frauenhaus) sebagai tempat berlindung yang aman dan nyaman bagi perempuan, juga bisa didapatkan di sana.

Selain lewat telepon di nomor tersebut di atas, curhat bisa dilakukan lewat email atau chatting. Bahkan pilihan beragam bahasa bisa dipilih; Arab, Bulgaria, China, Inggris, Perancis, Italia, Polandia, Persia, Portugis, Rumania, Rusia, Serbia, Spanyol, Turki dan Vietnam.

2. Kirim Email

Buku harian biasa dipakai kebanyakan orang untuk menuliskan isi hati. Remaja misalnya, mereka lebih mudah menumpahkan isi hati dan pengalamannya sehari-hari lewat coretan tangan. Buku harian memang salah satu alternatif untuk relaksasi, melepas perasaan yang ada. Menulis membantu mereka yang susah untuk curhat secara oral. 

Menulis memang menjadikan orang periksa dan terstruktur. Membaca membuat orang seksama dan banyak ide. Maka dari itu, menuliskannya dalam email menjadi alternatif bagi korban yang lebih suka menulis ketimbang curhat telepon. Email korban dengan anonym tetap akan dijawab selama 24 jam.

3. Curhat

Jika Anda golongan yang terbiasa untuk bercakap-cakap langsung dengan orang, beda sekali jika bercakap-cakap lewat telepon, bukan? Rasanya lebih bebas ketika bertemu fisik dan menatap mata lawan bicara. Kalimat jadi mengalir.

Dalam program pemerintah Jerman itu, korban bisa curhat tanpa daftar atau janjian terlebih dahulu. Waktunya, mulai pukul 12.00-20.00. Para konsultan adalah orang yang kompeten, dilatih menghadapi orang-orang dengan beragam kesulitan  dan orangnya, anonym.

Frauenhaus (Rumah Singgah Khusus Perempuan di Jerman)

Jika dalam konsultasi, korban dirujuk ke Frauenhaus atau rumah khusus perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (istri yang dianiaya suami, gadis korban pemerkosaan, gadis yang dilecehkan pacarnya, dan sejenisnya), anak-anak akan diikutkan ibunya demi keamanan dan kenyamanan.

Alamat Frauenhaus juga tidak diketahui pelaku kekerasan demi menghindari penjemputan paksa atau intimidasi. Di sana, para perempuan yang dikumpulkan itu akan diawasi oleh para ahli psikologi, pengacara, petugas sosial pemda setempat. Bea akomodasi gratis atau akan diambilkan dari dana sosial pemda. Sejarah  dari munculnya Frauenhaus sendiri berawal dari abad 19 dan rumah perempuan yang dibangun pertama kali di Jerman berlokasi di Berlin tahun 1976.

Tujuan awalnya:

-Membantu korban untuk pulih kembali

-Konsultasi korban (fisik dan psikis)

-Membantu pendidikan anak-anak korban

-Mencarikan rumah permanen yang terpisah dengan pelaku atau pekerjaan bagi para korban (sampai kondisi korban sudah kembali kuat).

Three Ends KPPPA ala Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia? Berbahagia sekali, Kompasiana turut berpartisipasi dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan dan mendukung program Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam blog competition "Bersama Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak“. Berharap dengan partisipasi dan tulisan Kompasianer, menggugah kesadaran masyarakat awam tentang hal itu, meningkatkan kewaspadaan masyarakat Indonesia yang masih sering dituding orang atau luar negeri sebagai negara yang kurang tanggap terhadap KDRT atau kekerasan terhadap perempuan dan anak dan lainnya.

Menteri PPA Yohana Yembise telah meresmikan pelaksanaan program Three Ends di Kota Bandung bulan November lalu. Tujuannya agar perempuan dan anak Indonesia itu berkualitas, mandiri dan berkepribadian. Program tersebut menyuarakan tiga hal yakni menghentikan kekerasan pada perempuan dan anak, menghentikan perdagangan manusia, dan memberikan keadilan akses terhadap ekonomi bagi perempuan. Apakah itu akan terwujud? Bisa, kalau pemerintah dan masyarakat bersama-sama mendukungnya. Tidak bisa salah satu saja.

Satu lagi, agak mirip dengan “Das Telephone“ di Jerman, pemerintah kota Bandung menyediakan call center khusus. Diharapkan warga aktif melaporkan kejadian kekerasan terhadap anak dan perempuan atau upaya perdagangan manusia dengan adanya fasilitas itu.

***

Dari semuanya, saya ambil sarinya bahwa jika terjadi apa-apa segera laporkan. Itu tak hanya melindungi diri tapi juga orang lain yang akan jadi korban supaya hati-hati dan ikut waspada. Yang terpenting, membantu pihak berwajib untuk menanganinya.

Jika sudah terjadi, ada alternatif terapi diri dengan "Das Telefone“ atau “call center“ bahkan  kegiatan positif sesuai bakat dan minat, yang bermanfaat. Rumah singgah bagi perempuan dari pemda setempat, dengan tersedianya para ahli yang bisa diajak konsultasi oleh korban adalah tambahan alternatif yang lain.

Mari lawan dan akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak di tanah air. Women, let's fight it! (G76).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun