Jika dokumentasi sudah ada, rugi kalau tidak dibagi dan tidak dibukukan. Senang sekali catatan perjalanan saya bisa menghasilkan "Exploring Germany" dan segera beredar, "Exploring Hungary" dan masih banyak buku-buku wisata lainnya yang sudah siap untuk dicarikan penerbit. Ayo, susul selagi bisa!
Ehem. Tujuan menulis buku tidak selalu demi keuntungan finansial, meski orang hidup pastilah butuh uang. Ingat, jika tidak pernah menulis, saya akan mudah lupa karena kapasitas otak orang beda-beda dan tanpa kehadiran tulisan saya, orang gampang melupakan. Kalau saya mati, tulisan tetap abadi.
Lagian, lupa memang tidak seru. Yang seru, ya hikmah yang bisa dipetik tadi.
Jalan-jalan jadi aktivitas yang sangat saya sukai sejak umur 18 tahun. Sekarang sudah jadi ibuk-ibuk, boleh dong tetap jalan-jalan. Jangan sampai dianggap kurang piknik hanya karena berkutat dengan dapur, kasur dan sumur saja setiap harinya.
Oh ya. Memang ramai dan heboh jalan dengan keluarga. Kayak lenong rumpi. Sebenarnya, paling menantang kalau travel sendiri. Semua bisa diatur dan dihadapi sendiri. Rupanya dengan bergulirnya waktu, sangat tidak mungkin untuk selalu jalan-jalan sendiri. Kadang tidak tega. Ah, ibuk-ibukkk, kadang "me time" memang perlu tapi kalo kebanyakan semoga keluarga tetap diperhatikan, yaaaa.
Hmmm... Jalan-jalan. Meskipun ibuk-ibuk, saya paling nggak suka pakai tas cangklong, tas perempuan yang digantungkan di salah satu pundak. Cantik dan indah dipandang tapi bukan "saya banget". Selain tidak praktis, dalam perjalanan mengunjungi tempat-tempat wisata mulai dari dalam kota sampai gunung, sungguh tidak nyaman. Melorot terus dan memang tidak seimbang. Kadang, linu di salah satu pundak malah.
Pasti dong, pilihan ada pada backpack alias tas punggung. Selain letaknya di punggung (bisa juga dibalik, di dada), dengan dua tali pengait di pundak kanan dan kiri, ruangnya bisa muat banyak. Kadang ada kantong di samping kanan dan kiri, bisa untuk botol minuman dan payung, misalnya. Di atas semuanya, saya mudah bergerak saat traveling dengan tas punggung ketimbang tas tangan perempuan atau model selempang.
Nah, ribut soal pilihan tas punggung, sebenarnya, apa dong, isinya?
Paling utama, harus ada makanan dan minuman. Namanya juga ibuk-ibuk, mikir keluarga. Kalau beli bisa, sih tapi tetep mahal. Sedia gudang sebelum tongpes. Kata suami saya, "...bawa kasur lipat sekalian." Bisa saja ....
Yang kedua adalah tisu kertas. Di Jerman, apapun merknya, tetap disebut tempo karena itu merk tisue pertama yang dikenal orang. Sama halnya dengan semua angkota di Semarang yang disebut Daihatsu padahal merknya lain misalnya Mitsubishi atau Honda. Tisu itu hygenis. Di baliknya, sebenarnya kurang ramah lingkungan karena sekali pakai saja tapi tetap asli praktis selama perjalanan. Apalagi yang punya anak kecil, yang selalu dekat dengan kata; kotor atau belepotan.