Pagi-pagi buta. Aku pandangi emak. Sosok yang aku cintai itu tak merestuiku untuk mengadu nasib ke Jakarta.
“Ning Jakarta mangan opo, Le?“ Begitu katanya seminggu yang lalu. Wanita yang melahirkanku itu khawatir aku akan mati kelaparan merantau ke metropolitan.
Kutinggalkan emak. Kupanggul ransel berisi sepasang baju dan beberapa buku. Kututup pintu rumah pelan-pelan. Tangisan tak bernada menyisakan titik air yang segera kuusap dengan lengan kananku. Aku laki-laki. Malu kalau ketahuan menangis.
“Maafkan aku, mak.“ Lirih suaraku seolah pamitan ke emak.
***
Jakarta. Tak terasa sudah setahun aku di sana. Dari nggembel sampai aku bisa jadi tukang becak. Becak dipinjami pak Darto, tukang becak yang kutemui dekat jembatan di mana aku biasa tidur dengan lembaran-lembaran kardus bekas. Mulanya, ia kasihan melihatku. Pak Darto yang kontrakannya lebih jelek dari gubuk emak itu malah menawariku kesempatan menarik becak pada malam hari. Kata pak Darto, mubadzir kalau becak nganggur malam-malam. Lagian, ia lebih suka kerja sebelum gelap tiba.
Maklum, penglihatannya sudah mulai kabur dan usia uzur membuatnya cepat lelah kalau matahari sudah mulai menghilang. Aku berharap bisa menabung untuk menghadiahinya kacamata.
Untuk acara menabung itu aku harus banyak menarik penumpang. Padahal orang sudah mulai gemar memilih gojek atau uber. Becak sepertinya sudah jadi alat transportasi jaman bahula yang pantas dipajang di museum saja. Ah, itu tak membuatku putus asa!
Begitulah, kerjaanku di Jakarta, ya menarik becak. Tiap malam, kuparkir becak di depan rumah besar bercat putih, berpagar tinggi. Rumah di pinggir jalan besar itu dekat dengan jalan masuk sebuah gang, strategis. Banyak orang malas jalan kaki menuju perumahan di seberang sana. Buat pesen gojek atau uber, nanggung.
Nggak mudah dapetin penumpang. Sembari nunggu, aku baca-baca buku. Kebetulan rumah tempat aku mangkal itu, ada lampunya; besar dan terang.
Buat mangkal di sana memang aku tak pernah minta ijin sama yang punya rumah. Sempat was-was kalau-kalau si empunya marah. Benar, sepertinya, ketakutanku itu jadi kenyataan malam ini.
Seorang wanita membukakan pintu gerbang lebar-lebar. Mobil Mercy masuk. Tak berapa lama, seorang pria tua berpakaian rapi, pakai jas, mendekatiku. Kututup buku yang sedari tadi kubaca.
“Selamat malam....“ Si Bapak menyapa.
“Selamat malam, pak. Maaf, bapak yang punya rumah besar itu ya ... jangan marah ya pak, saya ikut dempel di tembok bapak nggak pakai ijin ... saya...“
“Kamu suka baca buku?“ Si bapak menunjuk buku yang kututup.
“Iya, pak. Besok ada ujian. Saya harus belajar. Sambil tunggu penumpang, saya bisa baca buku, daripada melamun. Untung ada lampu taman punya bapak.“ Kepalaku mengangguk. Tanganku sedikit garuk-garuk karena gigitan nyamuk.
“Wah ... kamu kuliah?“
“Iya, pak. Kalau sore. Pagi saya tidur karena malamnya narik becak. Lumayan buat bea kuliah sama makan sehari-hari, cukuplah pak. Kalau kurang, biasanya pak Darto kasih utangan....“
“Aku mau bantu kamu tapi bukan kasih uang. Aku yakin kamu mau kerja, jagain rumah ya? Nanti kubuatkan gardu di depan rumah.“
Pria itu mengeluarkan kartu nama. Kini ku tahu, nama bapak itu. Pak Lee. Kujabat tangannya dan kusebut namaku.
“Parman.“ Pak Lee menawariku jadi satpam di rumahnya ketimbang jadi tukang becak yang nggak tahu kapan ada penumpang mau berbagi rejeki. Sejak itulah, aku punya seragam, gaji tetap aka gaji bulanan yang bisa buat makan dan biaya kuliah di kampus Lenteng Agung. Bahkan untuk gaji pertama, aku sudah beli kacamata pak Darto dan berani bagi ke emak lewat kiriman wesel.
“Sepuramu ya, Mak, aku saiki ning Jakarta, dadi satpam nyambi kuliah.“ Pesanku dalam surat, sebulan kemudian. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H