“Wah ... kamu kuliah?“
“Iya, pak. Kalau sore. Pagi saya tidur karena malamnya narik becak. Lumayan buat bea kuliah sama makan sehari-hari, cukuplah pak. Kalau kurang, biasanya pak Darto kasih utangan....“
“Aku mau bantu kamu tapi bukan kasih uang. Aku yakin kamu mau kerja, jagain rumah ya? Nanti kubuatkan gardu di depan rumah.“
Pria itu mengeluarkan kartu nama. Kini ku tahu, nama bapak itu. Pak Lee. Kujabat tangannya dan kusebut namaku.
“Parman.“ Pak Lee menawariku jadi satpam di rumahnya ketimbang jadi tukang becak yang nggak tahu kapan ada penumpang mau berbagi rejeki. Sejak itulah, aku punya seragam, gaji tetap aka gaji bulanan yang bisa buat makan dan biaya kuliah di kampus Lenteng Agung. Bahkan untuk gaji pertama, aku sudah beli kacamata pak Darto dan berani bagi ke emak lewat kiriman wesel.
“Sepuramu ya, Mak, aku saiki ning Jakarta, dadi satpam nyambi kuliah.“ Pesanku dalam surat, sebulan kemudian. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H