Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Diragukan Orang? Buktikanlah Bahwa Kita Bisa!

4 Oktober 2016   21:30 Diperbarui: 4 Oktober 2016   22:36 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selasa pagi. Usai mengantar anak-anak ke sekolah, sarapan lalu berangkat mengajar. Sebagai ibu rumah tangga, memang pekerjaan sudah banyak dan tak pernah habis tetapi pekerjaan berbagi ilmu bahasa Inggris itu saya jalani agar tak lupa bahwa bertahun-tahun pernah menimba ilmu di tanah air. Satu lagi, biar nggak boring. Hidup jadi lebih hidup!

Yup. Menjadi pengajar di Volkshocschule milik pemda Tuttlingen, yang mirip LPK kalau di Indonesia memang menyenangkan. Di sana, orang belajar tak hanya ketrampilan (memasak, mengukir, mendesain, menyanyi, menari) tapi juga bahasa (Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Rusia, Jepang, Turki). Sesuai pilihan. Sayang, peminat bahasa Indonesia kurang banyak, kelas selalu ditiadakan. Kalau di kota besar mungkin lain ceritanya.

OK. Kelas yang saya punya itu sudah 2 semester. Artinya sudah 1 tahun jadi murid saya. Semester baru dimulai akhir September 2016. Nah, dari 5 peserta rupanya ada tambahan murid baru (4 orang). Ketika satu persatu datang, salah satu murid baru melongo. Ia memandangi saya yang masuk ruang kelas tanpa beban.

Ehem ... saya paham; wajah saya Asia, muka saya lebih muda dari murid yang rata-rata berumur 60 tahun ke atas, keliatan sekali kalau bukan native speaker yang biasa cas cius cus bahasa Inggris. Apalagi, saya masih muda untuk ukuran mereka. Kulit saya coklat, badan saya pendek. Wisss... komplit elek.

Ia memandangi saya dari atas sampai bawah:

“Selamat pagi“ Sadar dipandangi, saya menyapa, sembari meletakkan tas dan buku-buku di meja guru.

“Pagi ...“ Si perempuan membetulkan kacamatanya. Mungkin biar lebih jelas melihat saya. Xixixi ...

“Anda pasti murid baru. Maaf siapa namanya?“ Daftar murid dari kantor VHS saya keluarkan. Sesekali memandang ruangan, siapa saja yang hadir dan dicentang.

“Oh, Anda guru kami, ya? Saya murid baru. Nama saya ....“ Tangannya terulur juga. Saya jabat. Kurang kuat. Berarti belum percaya kann, hayooooo?

“Ya, betul. Saya sudah mengajar kelas ini selama setahun. Tahun-tahun sebelumnya, saya mengajar kelas lain. Kelas saya hanya Senin dan Selasa saja.“

“Tapi Anda hanya guru pengganti kann? Besok-besok ada guru lain?“ Kejaran pertanyaannya mengagetkan saya. Kalau saya diganti saya nggak dapat honor, euy!

“Oh, tidak ... kelas ini saya mulai sejak 2015 dan akan terus saya pegang.“ Karena sudah kebelet pipis, saya pamit ke kamar mandi.

Rupanya, selama saya buang hajat kecil itu, salah satu murid yang rupanya teman lama si ibu, ngobrol.

Tak berapa lama, saya kembali ke kelas.

“Hayoooo ngobrolin saya yaaaaa?“ Dasar tukang nguping.

“Hahaha ... iya, tadi aku cerita sama temenku ini tentang kamu bahwa kamu ini guru kami yang paling cocok ....“ Blah blah blah .... murid yang pensiunan perusahaan alat kedokteran itu mengaku membicarakan tentang saya tapi yang positif. Ngrasani nih yeeeee ....

“Nggak papa ... saya maklum.“ Maklumlahhh kalau ada orang yang meragukan saya. Kok ada orang Indonesia ngajar orang Jerman bahasa Inggris. Kalau ngajar bahasa Jawa atau bahasa Indonesia, mungkin masih relevan. Betul nggak? Bagaimanapun, saya emban kepercayaan bos VHS untuk mengajar. Tanggung jawab saya mengikuti seminar, workshop dan lainnya, berbahasa Inggris dengan native speaker yang didanai oleh VHS atau penerbit seperti Cornelsen, setiap tahun. Pengayaan materi.

Ahhh, ingat juga ... saya juga pernah meragukan orang lain. Suatu hari, saya ikut ujian bahasa Jerman B2.  Organisator ujian adalah orang Rumania. Penguji, satu dari Jerman dan satunya dari ... Hungaria! Haaaa jadi ingat “Exploring Hungary“. Nah, selama sekian detik saya pernah berdialog dengan batin, “Lah kok, yang mengatur ujian dan pengujinya bukan asli Jerman?“ Nah, lhooo ... sempat ragu kann? Seiring dengan waktu dari pagi sampai sore, keyakinan saya bertambah. Tak kenal memang tak sayang.

Ok. Balik lagi ke kelas di mana saya diragukan kemampuannya. Sebelum kelas dimulai, kami berkenalan lagi karena ada yang baru kannnnn? Cerita tentang perjalanan mengajar saya dari TK, SMA, universitas di tanah air sampai lembaga bimbel dan LPK Jerman saya ulas singkat.

Tambahan info adalah apa saja yang sudah kami pelajari selama setahun. Belum lagi kegiatan seperti pesta Indonesia Januari lalu di mana mereka pentas puisi berbahasa Inggris di depan seratus tamu internasional dan kegiatan yang menyenangkan lain seperti membuat roti (Brot) Jerman dan Pizza (Italia).

Murid-murid baru pun mengangguk-angguk dan mengatakan bahwa kelas kami pasti menyenangkan. Disambut senyuman murid-murid lama. Gurunya masih muda tapi sabar (cieeee, uhukkk). Gimana nggak sabar, kami belajar dari nol. Yang dipelajari tak hanya tentang bagaimana berkomunikasi dengan bahasa Inggris pakai buku-buku pegangan Cornelesen, CD dan DVD penutur asli, tetapi juga bermasyarakat. Bukankah itu yang penting dalam hidup? Orang yang tidak mau bersosialisasi, saya pikir ibarat hidup di dalam tempurung.

***

Dari cerita saya di atas yang settingnya di negeri orang, Jerman, ada keinginan hati untuk mengajak teman-teman Kompasianer yang pernah atau sering diragukan orang lain untuk tidak cepat putus asa atau rendah diri. Kalau rendah hati, wajib itu yaaaa. Eh ... saya bukan motivator lhoooo, takut tumbang kena angin kenceng. Hanya berbagi pengalaman, barangkali bermanfaat atau menginpirasi karena diragukan atau direndahkan orang itu kejadian manusiawi. Rutin.

Begitulah. Memang hak orang lain untuk tidak mempercayai kemampuan kita, meragukan kita. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, tapi alangkah indahnya melihat ketidaksempurnaan dengan sempurna atau membuat ketidaksempurnaan menjadi sempurna bersama-sama. Romantissss.

Kalau orang Jerman bilang, “Ich vertraue was ich sehe.“ Dalam bahasa Indonesia, mirip dengan; saya akan akan percaya kalau ada bukti. Kalau nggak ada foto berarti hoax (?). Ups!

Jangan lupa, kewajiban kita untuk membuktikan kepada orang lain bahwa kita BISA! Hanya butuh waktu, kesungguhan hati dan kesabaran untuk membuktikannya. Mau? Harus mauuuu! Bisa? Harus bisa! Saya yang sak upil saja mau dan bisa, apalagi Kompasianer, nih. Kalau sudah ada kewajiban, dilaksanakan dengan baik dan benar. Jangan setengah-setengah.

Awal-awal kedatangan di Jerman, tidak begitu mudah melamar jadi guru, harus bisa bahasa Jerman dulu. Komunikatif, ya. Syukurlah, akhirnya diterima di bimbel dan LPK VHS Jerman itu. Lumayan, daripada tidak dibutuhkan (xixixixi, balang sandal).

Gembira sekali bahwa semester ini, bos VHS mengirim surat dengan pernyataan honor (bukan gaji)  saya 1,5€/jam lebih banyak dari semester lalu di tahun yang sama. Nggak salah, bos? Padahal sejak awal mengajar, saya sudah digaji 1€/jam lebih banyak dari teman-teman pengajar lainnya yang orang Jerman. Bukankah itu sebuah penghargaan dari lembaga bahwa saya berhasil membuktikan; meski saya lulusan bahasa Inggris universitas negeri di Indonesia, walaupun orang asing dari Asia dan bukan penutur asli, ada kepercayaan dari murid dan lembaga supaya saya (orang Indonesia) tetap mengajar bahasa Inggris di sana.

Bagaimana dengan kisah Kompasianer?  Mungkin Kompasianer pernah direndahkan tulisannya, pernah direndahkan masakannya, hasil fotonya diejek, pernah direndahkan kemampuan melukis atau apa saja deh, yang berhubungan dengan talenta. Apa yang terjadi dan bagaimana reaksi Kompasianer untuk membuktikan bahwa sudah ada usaha maksimal dalam hidup? Ayo, dibagi, supaya kita di Kompasiana saling menyemangati bukan saling memusuhi atau menyebar virus iri dengki.  Rugi.(G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun