Dari cerita saya di atas yang settingnya di negeri orang, Jerman, ada keinginan hati untuk mengajak teman-teman Kompasianer yang pernah atau sering diragukan orang lain untuk tidak cepat putus asa atau rendah diri. Kalau rendah hati, wajib itu yaaaa. Eh ... saya bukan motivator lhoooo, takut tumbang kena angin kenceng. Hanya berbagi pengalaman, barangkali bermanfaat atau menginpirasi karena diragukan atau direndahkan orang itu kejadian manusiawi. Rutin.
Begitulah. Memang hak orang lain untuk tidak mempercayai kemampuan kita, meragukan kita. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, tapi alangkah indahnya melihat ketidaksempurnaan dengan sempurna atau membuat ketidaksempurnaan menjadi sempurna bersama-sama. Romantissss.
Kalau orang Jerman bilang, “Ich vertraue was ich sehe.“ Dalam bahasa Indonesia, mirip dengan; saya akan akan percaya kalau ada bukti. Kalau nggak ada foto berarti hoax (?). Ups!
Jangan lupa, kewajiban kita untuk membuktikan kepada orang lain bahwa kita BISA! Hanya butuh waktu, kesungguhan hati dan kesabaran untuk membuktikannya. Mau? Harus mauuuu! Bisa? Harus bisa! Saya yang sak upil saja mau dan bisa, apalagi Kompasianer, nih. Kalau sudah ada kewajiban, dilaksanakan dengan baik dan benar. Jangan setengah-setengah.
Awal-awal kedatangan di Jerman, tidak begitu mudah melamar jadi guru, harus bisa bahasa Jerman dulu. Komunikatif, ya. Syukurlah, akhirnya diterima di bimbel dan LPK VHS Jerman itu. Lumayan, daripada tidak dibutuhkan (xixixixi, balang sandal).
Gembira sekali bahwa semester ini, bos VHS mengirim surat dengan pernyataan honor (bukan gaji) saya 1,5€/jam lebih banyak dari semester lalu di tahun yang sama. Nggak salah, bos? Padahal sejak awal mengajar, saya sudah digaji 1€/jam lebih banyak dari teman-teman pengajar lainnya yang orang Jerman. Bukankah itu sebuah penghargaan dari lembaga bahwa saya berhasil membuktikan; meski saya lulusan bahasa Inggris universitas negeri di Indonesia, walaupun orang asing dari Asia dan bukan penutur asli, ada kepercayaan dari murid dan lembaga supaya saya (orang Indonesia) tetap mengajar bahasa Inggris di sana.
Bagaimana dengan kisah Kompasianer? Mungkin Kompasianer pernah direndahkan tulisannya, pernah direndahkan masakannya, hasil fotonya diejek, pernah direndahkan kemampuan melukis atau apa saja deh, yang berhubungan dengan talenta. Apa yang terjadi dan bagaimana reaksi Kompasianer untuk membuktikan bahwa sudah ada usaha maksimal dalam hidup? Ayo, dibagi, supaya kita di Kompasiana saling menyemangati bukan saling memusuhi atau menyebar virus iri dengki. Rugi.(G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H