Kubuka daunnya. Benar, di depanku, berdiri pria yang sama! Tak ada surat atau paket yang ia bawa. Keningku mengkerut. Mau apa dia? Kedua tangannya seolah menyembunyikan sesuatu.
“Selamat siang, ada kiriman pos untuk saya?“ Kalimatku meluncur begitu saja tapi senyumku tak juga mengembang. Ah, aku harus menyembunyikan rasa rindu yang kupendam. Aku tak kenal dia. Aku takut kalau ia tahu aku suka kedatangannya, menunggu kehadiran orang berwajah Bernhard.
“Selamat siang, nona Gladiol.“ Oh, Tuhan! Dia masih ingat namaku. Ingin kuraba dadaku untuk mengukur seberapa cepat ia melaju. “Maaf, hari ini tidak ... tapi ada sesuatu yang menggangguku sejak pertama kali kita bertemu di pintu ini. Sudah seminggu aku tak bisa tidur. Bunga ini untukmu.“ Tangannya menyodorkan sesuatu. Oh! Serangkai bunga mawar merah yang wanginya sudah menusuk hidungku! Mungkin ia tahu aku suka mawar, dari hamparan bunga di halaman depan.
“Untuk apa? Anda salah alamat. Kita tak saling kenal.“ Bunga itu kukembalikan padanya.
“Karena engkau manis, aku ingin mengenalmu“ Tangannya memegang pergelangan tanganku dan memindahkan rangkaian bunga lagi.
“Hati-hati. Jangan-jangan Anda kecewa nanti. Barangkali aku bukan wanita yang baik untuk Anda.“
“Aku sudah berpikir selama seminggu, bulat sudah tekatku, aku ingin mengenalmu lebih jauh. Namaku Firad“ Tangannya mengajak berjabat tangan. Lembut!
“Gladiol.“
“Aku sudah tahu....“ Senyum Firad mengembang. Kulihat wajah Bernhard di sana. Aku terpesona. Bernhard? Ah, bukan ....
Firad melihat jam tangan. Buru-buru menuju mobil panjang berwarna coklat bertuliskan “Ups“ di sana. Selamat jalan, Firad. Senang berkenalan denganmu. Semoga kau bukanlah Bernhard yang menjelma. Semoga kau tak akan jadi Bernhard kedua yang akan mengecewakanku.
***