Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Personal Branding di Kompasiana, Why Not?

3 September 2016   18:40 Diperbarui: 24 September 2016   00:11 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Ada teman mengirim pesan lewat FB,

"Kamu aktif di Kompasiana, ya? Kasih tahu caranya dong..."

Tentu saja sebuah kehormatan dan kebanggaan untuk menceritakan awal mula bergabung dengan Kompasiana sejak tahun 2011 sampai hari ini. Sebagai ibu rumah tangga, nggak mudah lhoooo, kalau bisa sampai konsisten dan eksis di Kompasiana. Namanya ibuk-ibukkkk. Kerjaan nggak rampung-rampungggg ... Menulis di Kompasiana jadi hobi melepas penat dan kerinduan akan kampung halaman. Hui ...Indonesia indah! Segeraaaa....

Yah, gitu. Menulis ya, menulis saja (tapi tetap nggak lupa kerjaan yang segunung tadi). Ada HL atau nggak, dapat hadiah blog competition atau nggak, ada kue Freez atau Hangout Kompastv atau nggak, dapat award atau nggak. Terusss dan terus. Yup, menulis.

Hasilnya? Terima kasih kepada kompasiana, sudah ditetapkan masuk Top 10 Kompasianer 2016, bahkan satu-satunya yang berjenis kelamin perempuan. Ohhh, kok cuma satu kuotanya! Ayo kompasianer wanita, jangan mau kalah sama kompasianer pria.

Top 10? Di rumah, saya jadi top number one! Haha iya, di mata anak-anak dan suami. Bukankah itu sebuah prestasi yang sudah joss? Hehehe ....

Lalu, saya tekankan pada teman saya (yang putri salah satu tokoh terkenal Jateng)   itu bahwa pilihan untuk bergabung dengan kompasiana tidak salah. Saya dukung penuh. Banyak manfaat ketimbang kerugiannya, kok, asal bisa membawa diri.  Apalagi maksud dia adalah untuk eksis di jagad literasi. Cocok! Banyak kompasianer yang sudah merambah itu, termasuk saya. Hampir setiap komunitas yang lahir di Kompasiana juga membuat antologi. Opo ora hebat? Mengapa? Kalau tidak menulis, akan dilupakan sejarah. Kalau banyak berinteraksi dengan Kompasianer bisa ketularan, semoga yang baik-baik.

Di Kompasiana itu macem-macem. Ada yang tujuannya tulus berbagi, ada yang memang cuma hobi memaki, ada yang silent reader, ada yang ribut lalu lari, banyak deeeeeh.  Dipilih, dipiliiiih. Kompasianer datang dan pergi. Alhamdulillah, lima tahun ini, saya mlipirnya aman. Pasti adalaaaah yang nggak suka sama saya, sebel, bosen atau entah apalagi ... Biasa, namanya juga manusia. Adem dan anteng saja deh. Nulis? Jalan teroooooos.

Peran Kompasiana, saya kisahkan padanya sebagai tempat personal branding yang tepat. Tempat mengenalkan diri pada komunitas di blog keroyokan di mana penghuninya nggak hanya tinggal di tanah air tapi seluruh dunia. Internasional.  Tempat menjual diri yang positif, bukan?

"Ini lho Gaganawati yang cerita banyak soal Jerman dan apa saja yang dilakukannya dalam hidup." Cieeeee ... Bukankah tak kenal maka tak sayang? Uhukkk.

Personal branding di Kompasiana

Eh, personal branding apa saja sih yang saya dapat dari gabung Kompasiana?

Tahun 2011 sampai 2013, tulisan saya di Kompasiana yang dimuat di Freez sisipan Kompas jakarta, menjadi bukti pertama bahwa personal branding di kompasiana itu efektif. Badan dan nyawa saya di Jerman, jiwa dan pikirannya mampu terbang ke Indonesia gratis, lewat tulisan itu. Coba kalau beli tiket, welehhh larangepol. Setidaknya itu membuat bapak ibu bangga, nggak ketemu anaknya, ketemu tulisannya. Kepranan dan mongkok. Lagian, dapat honor lho. Kalau nggak salah ingat Rp. 250.000 belum dipotong pajak. Saya udah disunat lho. Eh pajaaakkkk lagi anget yak?

Personal branding kedua di Kompasiana, lewat Tipi. Yuhuuuu, masup Tipi, man! Seperti founder K bilang, bahwa stop di cetak, Kompasiana main di audio visual. Nebeeeeng. Kompasiana dapat kesempatan di Kompastv! Yuhuuuu bisa nangkring 7 kali. Kalau nggak salah, lagi-lagi Rp 250.000 sekali ikut (dipotong pajak). Nggak hanya yang tinggal di Jakarta kan, yang jauh sekali seperti saya bisa ikut berkat jaringan internet joss. Hidup jerman, opsala.

Chanel TV kan banyak ya di tanah air. Lah kok kebetulan, dosen-dosen tempat saya kuliah dan ngajar dulu lihat. Begitu pulang mudik, pada komentar "Gana ada di mana-mana." Sayangnya, program TV di Kompasiana hanya setahun. Kuraaaanggg. Masih banyak Kompasianer yang belum nongol.

Personal branding berikutnya lewat ngoplah, ngobrol di palmerah. Di mabes K itu saya bisa ketemu kopdar sama teman kompasianer. Maklum, ngga pernah mujur dapat rejeki datang di kompasianival. Ya, udah, kumpul, kecil-kecilan sambil berbagi ilmu, khususnya menerbitkan buku. Mengupas buku dari awal sampai proses akhir. Di sana, saya biasa menari, mengajak Kompasianer melestarikan budaya bangsa di manapun berada. Saya yang jauh bisa, yang di tanah air harus lebih bisa dooong. OK. Ketemu di ngoplah 21 Oktober sore ya, masukin kalender smartphone kalau perlu. Haha ... gayanya.

Personal branding lewat K keempat, bisa mendongkrak nama di mata penerbit mayor. Setelah Gramedia, kok ada keinginan pengen menembus Elexmedia. Kirim deh saya punya naskah. Ketika ditolak dan disarankan mengganti haluan naskah, jadi! "Exploring Germany" adalah buku yang lahir Februari 2016 dengan editor dik Rizza Hardiani.

Masih ingat sekali waktu ke kantor Elex (yang satu gedung dengan Kompasiana) untuk pertama kalinya. Ketemu editor Rena Widyawinata, yang juga kompasianer!

"Ooooh, ini tho Gaganawati. Kalau baca Kompasiana, kamu lagi ... kamu lagi. Ini orang siapa sih?" Hahahahaha... Maap. Memang pada kurun waktu 2013-2014, rejeki HL saya banyak. Saya hanya ibu RT, bukan siapa-siapa. Terima kasih, admin! Hingga, entahlah siapa yang telah menjagokan saya jadi kandidat dalam Kompasianival award dua tahun berturut-turut, yang jelas saya nggak menang. Hohoho. Eh. Belakangan saya terharu, rupanya saya tetap menang. Setidaknya di hati mbak Arimbi Bimoseno, penulis buku Jokowi dan Habibie yang menuliskannya di Kompasiana. "Lima Nama Pilihan Saya Dalam Kompasianival 2014." Luar biasa, mbakayu itu, memilih saya sebagai the best of citizen journalism. Alhamdulillah, matur nuwun, mbak. Semoga Allah membalas kebaikan hatimu. Saya tak bisa membalasnya.

Nilai positif personal branding

Lantas, mengapa personal branding begitu penting dalam hidup saya yang ibu rumah tangga?

1. Eksistensi

Tahu kan, ibu rumah tangga itu hanya kasur, dapur dan sumur? Di Jerman?  Mirip, dikenal dengan Kinder, Kirche, Küche (mengurus anak, ke gereja dan di dapur). Laaah kalau banyak di rumah kapan perginya ya? Untung ada internet, bisa berselancar ... Hore, eksis!

2. Peluang bisnis dari rumah

Banyak kok, ibu-ibu yang blogger jualan dari rumah. Peluang bisnis makin terbuka karena selain mengurus rumah juga bisa cari uang. Begitu pula dengan saya. Eh, bisnis apa ya? Jual buku-buku aja deh.

3. Pencitraan

Kalau nggak dikenal, harus memperkenalkan diri. Tentu saja pencitraan ini berdasar fakta yang benar. Nanti kalau kayak kasus asisten dan dokter di Kompasiana tempo hari, siapa menanam akan menuai. Citra sebagai orang Indonesia yang tinggal di Jerman.

4. Memperluas jaringan

Dari berkenalan dengan blogger di seluruh dunia, jaringan jadi tambah banyak. Dari yang nggak kenal jadi kenal, dari yang sudah kenal tapi hilang tersambung lagi. Dari luar negeri jadi kenal orang-orang dalam negeri. Kalau pakai pesawat mahal kan?

5. Jalur komunikasi (alternatif)

Kadang karena jarak dan waktu, mau berhubungan kok susah dan mahal. Di Kompasiana jadi bisa lebih mudah kalau bisa mengatur waktu antara dunia maya dan nyata. WA dan email memang bisa tapi bukankah tidak ada artikel di sana untuk dibaca dan didiskusikan? Kalau di blog keroyokan kita ada artikel, komen dan balas komen. Bahkan forum adalah....

6. Tempat instropeksi

Di bawah artikel kompasiana, selalu disertakan kolom komentar. Saya mungkin termasuk wayang mbeling yang mbales tidak di tempat semestinya. Saya pilih mengunjungi artikel komentator, membaca tulisannya dan meninggalkan jejak di sana. Barangkali ini ekstrim untuk teman-teman yang bilang, “Ih, Gana sombong!“ Nggaklah ... kalau saya balas di tempat sendiri kann ego. Xixixi. Kalau balas di tempat saya dan tempat komentator aduh nggak sempat. Waktunya dibagi. Dari komentar, kadang jadi bahan renungan. Ohhh gitu tanggapan orang. Terlihat positif dan negatifnya. Bahasa tulis bisa merasuk jiwa. Bagaimanapun, saya tahu, kalau ada orang yang nggak suka sama saya meski saya nggak ngapa-ngapain tetep saja salah atau buruk. Eh.

Atau ketika admin bantu membetulkan judul artikel atau jenis artikel. Thanks! Jadi tahu yang bener itu bagaimana.

7. Mendapat feed back demi kemajuan

Dari renungan tadi, pasti akan membawa kemajuan (bagi yang mau dan bisa). Orang kalau nggak mau maju jadi jalan tempat, seperti katak di dalam tempurung. Hanya saja, bagaimana umpan balik itu disampaikan kepada kita? Dari depan apa belakang?

8. Ukuran kredibilitas diri bagi partner

Tulisan yang lahir dan pikiran yang dibagi akan membuat partner jadi tahu, sejauh mana nilai kredibilitas seseorang. Genrenya apa, jurusannya apa ... gitu kali. Dari 1057 artikel, mayoritas, saya pilih lifestyle saja. Sekali-kali wisata dan fiksiana (lagi tahap belajar tapi nggak bisa-bisa haha). Kompasianer pilih mana?

Seperti cerita saya soal kenalan dengan penerbit mayor Elexmedia, juga mengerucut ke Kompasiana juga. Mereka juga telah membaca tulisan-tulisan kita lho ... tak kenal memang tak sayang. Sayangilah saya.

***

Dari curhatan di atas, saya ingin mengucap selamat datang pada kompasianer yang baru saja bergabung.

Yang kedua, saya ingat pada tulisan-tulisan yang merendahkan kompasianer dengan mengatakan blog kompasiana itu kebanyakan clometan, tulisan nggak karuwan dan entah apalagi yang bernada negatif. Nggak tahu ya, saya aja yang 5 tahun di Kompasiana nggak pernah ngomong gitu, lah kok yang cuma lihat sekelebat sekilas begitu gegabah menulis artikel menjelek-jelekkan kompasiana atau kompasianer.

Ingat siapa yang membuka kedok Gayus? Kompasianer!

Siapa yang membuka kedok jilbab hitam? Kompasianer!

Dan masih banyak lagi....banyak deh, pokoknya.

Tulisan yang lahir di Kompasiana memang ringan, dengan bahasa yang tak baku. Justru kemurniannya itu yang bawa sensasi, esensi dan mak nyoss mujarab!

Kenapa? Karena mayoritas Kompasianer bukan wartawan tapi seneng dan pinter nulis!

Ojo wani-wani ...

Ya sudahlah ... Keep your personal branding here and see what'll be happened.

Semangatlah menulis di Kompasiana. (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun