Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Belajar Meminta Maaf dari Orang Jerman

30 Agustus 2016   21:42 Diperbarui: 30 Agustus 2016   22:21 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Murid-murid tercinta (dok:Gana)

Sepuluh tahun telah berlalu. Tak terasa sudah selama itu saya meninggalkan Indonesia. Bagaimana rasanya? Merah putih dan garuda masih di dada. Cieee ... Nggak heran kalau mau terbang menuju Indonesia dari Jerman, sudah hip-hip ceria.

Nah, kebalikannya, sekali saya pulang ke tanah air dan harus kembali ke Jerman, biasanya air mata saya mengalir deras di dalam pesawat. Maluuuu matanya bengkak. Untung saya selalu sedia satu pak tissue. Iyaaaa, betul, rasa kangen orang tua dan Indonesia selalu ada. Mana Indonesia itu jauhhh.

Baiklah. Diambil hikmahnya saja, berada di negeri orang dan belajar tentang orang-orangnya tetap mengasyikkan. Life must go on.

***

Belajar budaya Jerman memang efektif dengan memperluas pergaulan. Masih ingat sekali perbincangan terakhir dengan para ibu-ibu Jerman bulan Juli lalu. Salah satu tetangga sangat terkejut ketika tahu, saya sudah 5 tahun ini gabung klub olah raga yang pesertanya rata-rata 60-80 tahun. Bukankah saya tidak berada di usia itu? Betul, masih jauh! Pertemanan tidak memandang usia dan ras.

Jawaban saya adalah, saya gabung mereka karena merasa klop, saling mengerti. Oh, tidak mudah berinteraksi dengan orang Jerman dalam kehidupan sehari-hari. Kenalan saya dari bayi sampai oma-opa tapi memang paling mudah bergaul dengan orang yang sudah lansia. Umuran 60 itu, sudah teles-adem, banyak pemahaman terhadap dunia dan menghargai manusia lainnya. Maksud saya, bukan berarti yang di bawah 60 tidak begitu. Tidak, tapi kebanyakan, saya lebih mudah berkomunikasi dengan yang 60 tahun ke atas daripada yang muda.

Dari orang-orang lansia itu, saya tak hanya belajar tentang kehidupan tapi juga bagaimana mengakui kesalahan (meminta maaf) dan sportif. Maksudnya?

Begini. Suatu hari, saya mengajar kelas bahasa Inggris. Di situ, yang paling muda, umurnya 60 tahun, yang paling tua 70 tahun. Nah, karena saya lupa membawa CD untuk hörverstehen atau listening, pinjamlah saya punya murid. Seorang murid mempersilakan CD nya dipinjam. Setelah selesai, saya kembalikan tapinya nggak pakai tanda terima. Berarti itu satu setengah jam kemudian.

Seminggu kemudian, si nenek komplen bahwa CD nya nggak ada di buku. Dia bilang, saya lupa mengembalikannya.

“Maaf, Gana ... tempo hari kamu pinjam CD ku, kamu lupa mengembalikannya. Kemarin saya mau belajar nggak bisa karena CD nggak ada. Kalau kamu masih perlu untuk pelajaran hari ini, silakan pakai nanti kalau pulang, tolong kembalikan.“ Di depan kelas, ia mengutarakan kalimat yang sempat bikin saya kaget. OMG! Speechless.

Hmmm. Seingat saya, saya sudah kembalikan, tuh tapi tidak ada bukti. Piye, bagaimana coba? Murid-murid yang lain tidak banyak membantu, tidak berkomentar ... hanya diam. Entah diam bingung atau diam karena tidak tahu harus berbuat atau bilang apa. Pikir saya, “Yaaaa sudahlah. Kan masih ada buku yang baru (dan sama) pemberian dari penerbit tempo hari. Nggak papa. Kalau si nenek menemukan CD nya pasti CD yang saya berikan akan dikembalikan.“ Gitu aja kok repot.

***

Seminggu berikutnya, kami ketemu lagi.

“Maaf Gana, aku salah. CD yang aku kira milikku itu ternyata betul milikmu. Aku baru sadar ketika bersih-bersih mobil, CD itu ada di player mobil dan aku lupa mengeluarkannya.“ Kata si nenek sambil menyerahkan CD di depan teman-temannya, tanpa malu-malu.

Pecahlah tawa saya. Saya tidak mentertawakan murid yang lebih tua atau lebih pantas jadi ibu saya itu, tidak. Saya tertawa karena dugaan saya benar “Kalau si nenek menemukan CD nya pasti CD yang saya berikan akan dikembalikan.“ Saya sudah bisa menahan amarah atau jengkel seminggu yang lalu (kan sudah dikembalikan? Kok dibilang saya yang lupa?). Untung saja saya tidak menyakiti si nenek waktu itu dengan kalimat yang tidak mengenakkan, waktu itu, saya hanya bilang “Oh, ya? Saya lupa ya? Maaf.“

Tawa saya disambut murid-murid yang lain. Semoga tawa itu tidak mentertawakan faktor lupa si nenek tapi tawa menyambut kebenaran dan kejujuran.

“Sekali lagi, saya minta maaf...“ ucap murid saya, sambil mengulurkan CD dan kembali ke tempat duduknya.

Saya mengangguk.

***

Dari kesalahan salah satu murid saya itu, saya belajar banyak bahwa orang Jerman seperti dia, sangat sportif dan tidak enggan mengucapkan „maaf“, bahkan pada orang asing yang lebih muda lagi, seperti saya.

Saya nggak yakin, apakah saya akan mampu seperti yang dia lakukan, berani mengakui kesalahan diri di depan publik dan meminta maaf satu sampai dua kali secara tulus ikhlas sepertinya.

Bagaimana dengan Kompasianer? (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun