***
Seminggu berikutnya, kami ketemu lagi.
“Maaf Gana, aku salah. CD yang aku kira milikku itu ternyata betul milikmu. Aku baru sadar ketika bersih-bersih mobil, CD itu ada di player mobil dan aku lupa mengeluarkannya.“ Kata si nenek sambil menyerahkan CD di depan teman-temannya, tanpa malu-malu.
Pecahlah tawa saya. Saya tidak mentertawakan murid yang lebih tua atau lebih pantas jadi ibu saya itu, tidak. Saya tertawa karena dugaan saya benar “Kalau si nenek menemukan CD nya pasti CD yang saya berikan akan dikembalikan.“ Saya sudah bisa menahan amarah atau jengkel seminggu yang lalu (kan sudah dikembalikan? Kok dibilang saya yang lupa?). Untung saja saya tidak menyakiti si nenek waktu itu dengan kalimat yang tidak mengenakkan, waktu itu, saya hanya bilang “Oh, ya? Saya lupa ya? Maaf.“
Tawa saya disambut murid-murid yang lain. Semoga tawa itu tidak mentertawakan faktor lupa si nenek tapi tawa menyambut kebenaran dan kejujuran.
“Sekali lagi, saya minta maaf...“ ucap murid saya, sambil mengulurkan CD dan kembali ke tempat duduknya.
Saya mengangguk.
***
Dari kesalahan salah satu murid saya itu, saya belajar banyak bahwa orang Jerman seperti dia, sangat sportif dan tidak enggan mengucapkan „maaf“, bahkan pada orang asing yang lebih muda lagi, seperti saya.
Saya nggak yakin, apakah saya akan mampu seperti yang dia lakukan, berani mengakui kesalahan diri di depan publik dan meminta maaf satu sampai dua kali secara tulus ikhlas sepertinya.
Bagaimana dengan Kompasianer? (G76)