Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

"Full Day School" Tidak Dipaksakan

10 Agustus 2016   17:08 Diperbarui: 11 Agustus 2016   13:00 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

5.Anak stress

Seorang anak tetangga sejak tahun kemarin, September 2015, disekolahkan ibunya seharian. Terhitung sampai Juli ini, sudah setahun di sekolah. Pukul 08.30-12 di SD dan mulai 12.05-16.00 di TK sebelahnya, day care. TK dan SD memang punya kerjasama Kinderbetreuung, penitipan anak. Paling tidak 200€/bulan. Dengan makan siang, bimbingan belajar dan pengerjaan PR bersama-sama guru pendamping, membuat hasta karya dan bermain.

Anak satu-satunya pemilik pabrik mur baut di kampung kami itu memang masih kecil (9 tahun) tapi sudah jago mengeluh. Ulasnya, sebenarnya, ia tidak mau disekolahkan full. Bosan dengan teman-teman di kelas yang sama-sama dititipkan. Kedua, ia merasa lebih enak di rumah. Ada mama. Apalagi kelima kucingnya berkeliaran di mana-mana. Ia tidak bisa melampiaskan diri lagi, banting kucing satu-satu. Xixixi... judulnya, “Meong selamat dari monster karena full day school.“

Keluhan bocah sudah disampaikan ke mama dan papanya, juga kepada anak-anak kami yang juga teman sepermainan tapi tetap saja nihil. Tahun ini (mulai September 2016), ia akan masuk full day lagi. Bedanya, seharian di SD, bukan separoh di TK seperti setahun ini. Padahal ia nggak suka. Bahkan kalau mau masuk sekolah harus pakai dibujuk, dianter segala padahal jalan kaki 15 menit udah sampai.

***

Dari cerita di atas, semoga anak kami merasa mereka didengarkan keinginannya tapi tidak disalahgunakan. Sisa waktu usai sekolah tadi tetap dimanfaatkan semaksimal dan sepositif mungkin, meski tidak full day. Keputusan yang kami ambil, semoga tidak salah. Namanya juga yang menjalani sekolah memang anak, bukan orang tua. Kalau anak tidak mau, kami tidak memaksa.

Pemerintah Jerman wilayah kami pun mendukung penuh.

Begitu pula dengan sekolah. Mereka memberi kebebasan orang tua dan anak-anak untuk memilih.

Ada yang bilang; kalau anak-anak sudah di sekolah pendidikan lebih baik karena ada ahlinya di sana atau PR sudah selesai dan kegiatan banyak bikin anak sibuk dan aktif, energi positif tersalurkan. Buang jauh hawa negatif.

Lainnya bilang; anak lebih baik di rumah saja dirawat dan dididik sendiri usai sekolah. Jauh dari kata liar dan salah karakter.

Dipilih-dipilih-dipilih.... Harus tetap digelar pilihan, bukan paksaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun