Jalanan Jerman tampak lengang. Aku tak tahu apakah itu gara-gara teror di Würzburg dan München yang baru saja terjadi atau orang sedang sibuk pergi ke danau atau tempat yang ada airnya, untuk menggosongkan kulit. Hari itu, panas sekali.
Kupandangi bos di sampingku. Kasihan. Ia tampak kelelahan dari perjalanan jauh di pesawat dan pucat pasi karena sedang tidak fit. Beliau bersikeras datang ke Jerman untuk operasi prostat. Bukankah dokter di Jakarta juga top? Ah, biarlah. Sebagai sekretaris yang setia, aku mau saja menemani. Aku masih single, tak ada tanggungan yang membuatku harus terpaku di kantor atau di rumah saja. Lagian, lumayan bisa jalan-jalan gratis. Bos cerita, istrinya lagi shopping di London dan tidak bisa ikut. Tidak bisa atau enggan? Entahlah. Pasangan itu sudah 30 tahun menikah. Aku kira, cukup sekali untuk mulai memiliki sebuah kekhawatiran jika suatu hari ada yang meninggal di antara mereka. Harusnya didampingi. Nggak tahu, ah!
Aku menghela nafas dan sempat terkejut ketika bos membuka suara. Untung Handyku tak terpelanting ke jok bawah. Meski sudah dilapisi gelas, tetap saja aku takut rusak!
“Lila, tolong hubungi manager produksi. Ada keluhan dari klien X lewat WA nih.“
“Siap, pak.“ Kupencet nomor yang tersimpan di kontak. Terhubung. Kami terlibat percakapan singkat dan padat. Bukan karena tarif SLI tapi karena aku takut salah omong kalau kebanyakan. Puh. Urusan selesai. “Beres, pak. Semua sudah manager atur.“
“Kirim WA, kalau manager bilang klien tetap mengeluh, bilang saja aku akan batalkan semua kontrak tahun ini. Bikin pusing saja. Aku nggak mau mati gara-gara pusing mikirin klien itu.“
Jantungku hampir copot. Klien yang selalu mengeluh itu sudah 15 tahun kerjasama dengan perusahaan bos. Bagaimana mungkin memutus hubungan bisnis yang sudah lama begitu saja? Aku tak paham, tapi aku hanya mengangguk mengikuti jalan pikiran pria yang telah menggajiku 5 tahun ini.
Bosku menghirup nafas dalam-dalam. Lagi-lagi, bos membaca WA. Kulihat matanya berkaca-kaca. Nyatanya, tak ada suara yang keluar dari mulut beliau. Karena prihatin, aku coba mencairkan suasana.
“Bapak baik-baik saja?“ Kusodorkan minuman botol bergas yang kami beli di SPBU tadi. Dasar Jerman, semua minuman dikasih soda.
“Anak lanangku, Lil.“
“Kenapa Reza pak?“ Pernah beberapa kali aku ketemu anak ragil pak bos. Anak remaja yang ganteng tapi aku kurang suka perangainya.
“Aku ini kurang opo, Lil?“
“Kurang apa ya pak? Kayaknya bapak sudah perfect“ Aku tak bermaksud cari muka di hadapan bosku yang tua tapi ganteng itu. Bosku itu kadang kaku tapi ia sungguh baik hati.
“Maksudku, aku sudah kaya. Perusahaan warisan dari orang tuaku sudah berhasil aku pegang hingga sebesar ini. Aku hargai istriku yang ibu rumah tangga. Anak-anak tercukupi. Aku bahagia memiliki keluarga bahagia. Rupanya aku salah, Lila. Uang kadang mampu membutakan manusia....“ Sapu tangan kertas itu diambilnya dari sebuah kotak di mobil. Barangkali beliau takut air matanya jatuh ke lantai dan meminangnya di antara hamparan kecil, lembut warna putih itu.
“Maaf, pak, saya kok gagal paham dengan keterangan bapak.“ Meski nggak tahu harus bilang apa, aku tetap trenyuh. Hatiku ikut lebur bersama runtuhan kesal bos.
“Iki, lho Lil. Ada WA dari anak lanangku.“ Bos memberikan smartphonenya padaku. Tadinya aku ragu untuk membaca. Ini barang pribadi, kan. Sampai bos menggoyangkan HP dua kali, baru aku ambil. Ya, ampun! Kubaca percakapan bapak-anak itu. Isinya, si anak yang sudah diberi 20 juta sebulan untuk uang saku itu, bilang kurang! Aku ingat sekali waktu belum kerja sama bos, cari kerja sambilan sana-sini. Di Mc. D lah, di kedai foto kopi lah, bantu-bantu warungan lah ... intinya biar kuliahku bisa tercukupi. Lah ini ... tinggal minta bapaknya, si bos, katanya masih kurang?! Kalau tadi bos tanya beliau kurang apa ... yang kurang itu anaknya. Reza kurang ajar, maksudku.
“Aku kudu piye, Lil?“ Bos membenturkan kepalanya di jendela mobil. Sopir sempat mengerem mobil secara mendadak dan mengeluarkan bunyi gesekan mobil dan aspal yang mendecit, memekakkan telinga. Semua ikut panik. Segera kukomando supir untuk meneruskan perjalanan. Untung tak ada polisi Jerman yang terkenal tak bisa dikorupsi itu dan sedang tak ada mobil yang lewat. Aman. Aku terangkan dalam bahasa Jerman bahwa bosku sedang emosi jiwa. Untung ia mengangguk dan melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuan yang kusebutkan di bandara tadi.
“Gimana ya, pak? Kita ada di sini. Kalau anak bapak sudah mau ambil uang cash dari laci bapak di rumah, Ibu ada di London. Kita nggak bisa ngapai-ngapain, pak. Maaf, saya nggak ada ide untuk masalah ini, pak.“ Ingin rasanya kupeluk pak bos dan mengelus punggungnya, tapi aku takut dibilang nggak tahu diri dan kuwalat, berani-beraninya pegang-pegang bos dan suami orang! Nggak semua sekretaris punya affair sama bosnya, kan?
Kontak mata tetap kujaga agar tercipta kesan aku amat prihatin dengan kejadian itu dan ingin mendukung pak bos, sepenuh hati.
“Kalau aku mati karena operasi gagal, aku titip Reza ya, Lila. Openana ....“
“Ah, bapaaaak, nggak boleh gitu ah, pak. Bapak masih muda dan tim dokter Jerman pasti sukses. Lagian, belum tentu bapak dulu yang meninggal. Kalau Reza yang mati duluan, bagaimana coba?“
“Ngawur kowe, Lil! Sembrono! Aku mau bunuh diri saja kalau anak ragilku itu mati.“ Pak bos mendelik. Aku takut mata bos menggelinding, jatuh. Aku menunduk.
“Emm ... jangan, pak. Bapak masih ada istri dan saudara perempuan Reza kan? Hidup itu indah.“
“Anak laki itu beda, Lil. Tanpa Reza, aku merasa jadi laki-laki impoten!“
“Nggak ada yang bilang begitu sama bapak. Itu perasaan bapak saja. Menurut saya, sama aja, paaaak. Laki dan perempuan itu berdiri sama rendah, duduk sama tinggi ... eh, salah ya, pak...“ Aku mencoba menghibur pak bos dengan joke sembaranganku. Segera kuhentikan karena bos geleng kepala. Tidak berhasil. Ide yang gila!
Kadang aku juga masih heran, jaman modern gini, masih banyak yang membedakan gender antara punya anak laki dan perempuan. Kalau sama-sama berbakti dan baik, aku kira sama saja. Nggak harus anak laki saja yang utama bagi keluarga.
Mobil berhenti. Rupanya sudah sampai di halaman rumah sakit internasional. Di sana, sudah siap kursi roda untuk pak bos. Meski bos masih bisa jalan kaki sendiri, aku yakin posisi duduk lebih baik untuk kondisi jiwanya yang sedang tidak stabil itu. Bagus sekali servis RS nya. Walau begitu, aku tetap ngeri buka surat isi tagihannya nanti! Untuk pak bos sih, kecil. Namanya juga, orang kaya.
***
Tiga jam sudah aku menunggu. Aku terbangun dan memperbaiki posisi duduk agar rok spanku tidak tersibak dan membuat isinya kelihatan. Sialan, badanku terasa pegal! Kupijat-pijat sebentar dengan jemariku yang masih awet dihiasi kuku palsu warna ungu. Tadi aku sempat tertidur setengah jam saking bosennya nunggu dan posisiku, nggak enak di kursi tunggu yang keras seperti batu. Rumah sakit internasional kok kursinya nggak empuk! Huh! Kupukul permukaan kursi yang sedari tadi kududuki. Jengkel bombayyyyyyyy! Aku mengaduh sendiri.
Tak berapa lama, dokter bedah keluar dari ruang operasi dan menemuiku. Syukurlah, operasi berhasil dan lancar. Bos belum juga siuman dari bius. Belum boleh dijenguk. Harus menunggu lagi. Hanya saja, dokter bilang sempat menyebut nama “Reza“. Ahhhh, mungkin masalah tadi, terbawa sampai mimpi dalam bius operasi.
“Ting!“ Bunyi nyaring Handy mengagetkanku. Ada pesan di WA dari manager produksi. Mengabarkan, anak lanang pak bos mati karena tabrakan malam-malam. "...Kebut-kebutan abis pesta alkohol."
“OMG, Bos! Reza!“ Jeritku.
Kini aku mulai meniru gaya pak bos membenturkan kepala, pada jendela ruang tunggu. Takut. Aku takut membayangkan apa yang akan bos lakukan kalau tahu, Reza sudah mati. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H