“Emm ... jangan, pak. Bapak masih ada istri dan saudara perempuan Reza kan? Hidup itu indah.“
“Anak laki itu beda, Lil. Tanpa Reza, aku merasa jadi laki-laki impoten!“
“Nggak ada yang bilang begitu sama bapak. Itu perasaan bapak saja. Menurut saya, sama aja, paaaak. Laki dan perempuan itu berdiri sama rendah, duduk sama tinggi ... eh, salah ya, pak...“ Aku mencoba menghibur pak bos dengan joke sembaranganku. Segera kuhentikan karena bos geleng kepala. Tidak berhasil. Ide yang gila!
Kadang aku juga masih heran, jaman modern gini, masih banyak yang membedakan gender antara punya anak laki dan perempuan. Kalau sama-sama berbakti dan baik, aku kira sama saja. Nggak harus anak laki saja yang utama bagi keluarga.
Mobil berhenti. Rupanya sudah sampai di halaman rumah sakit internasional. Di sana, sudah siap kursi roda untuk pak bos. Meski bos masih bisa jalan kaki sendiri, aku yakin posisi duduk lebih baik untuk kondisi jiwanya yang sedang tidak stabil itu. Bagus sekali servis RS nya. Walau begitu, aku tetap ngeri buka surat isi tagihannya nanti! Untuk pak bos sih, kecil. Namanya juga, orang kaya.
***
Tiga jam sudah aku menunggu. Aku terbangun dan memperbaiki posisi duduk agar rok spanku tidak tersibak dan membuat isinya kelihatan. Sialan, badanku terasa pegal! Kupijat-pijat sebentar dengan jemariku yang masih awet dihiasi kuku palsu warna ungu. Tadi aku sempat tertidur setengah jam saking bosennya nunggu dan posisiku, nggak enak di kursi tunggu yang keras seperti batu. Rumah sakit internasional kok kursinya nggak empuk! Huh! Kupukul permukaan kursi yang sedari tadi kududuki. Jengkel bombayyyyyyyy! Aku mengaduh sendiri.
Tak berapa lama, dokter bedah keluar dari ruang operasi dan menemuiku. Syukurlah, operasi berhasil dan lancar. Bos belum juga siuman dari bius. Belum boleh dijenguk. Harus menunggu lagi. Hanya saja, dokter bilang sempat menyebut nama “Reza“. Ahhhh, mungkin masalah tadi, terbawa sampai mimpi dalam bius operasi.
“Ting!“ Bunyi nyaring Handy mengagetkanku. Ada pesan di WA dari manager produksi. Mengabarkan, anak lanang pak bos mati karena tabrakan malam-malam. "...Kebut-kebutan abis pesta alkohol."
“OMG, Bos! Reza!“ Jeritku.
Kini aku mulai meniru gaya pak bos membenturkan kepala, pada jendela ruang tunggu. Takut. Aku takut membayangkan apa yang akan bos lakukan kalau tahu, Reza sudah mati. (G76)