“Aku ini kurang opo, Lil?“
“Kurang apa ya pak? Kayaknya bapak sudah perfect“ Aku tak bermaksud cari muka di hadapan bosku yang tua tapi ganteng itu. Bosku itu kadang kaku tapi ia sungguh baik hati.
“Maksudku, aku sudah kaya. Perusahaan warisan dari orang tuaku sudah berhasil aku pegang hingga sebesar ini. Aku hargai istriku yang ibu rumah tangga. Anak-anak tercukupi. Aku bahagia memiliki keluarga bahagia. Rupanya aku salah, Lila. Uang kadang mampu membutakan manusia....“ Sapu tangan kertas itu diambilnya dari sebuah kotak di mobil. Barangkali beliau takut air matanya jatuh ke lantai dan meminangnya di antara hamparan kecil, lembut warna putih itu.
“Maaf, pak, saya kok gagal paham dengan keterangan bapak.“ Meski nggak tahu harus bilang apa, aku tetap trenyuh. Hatiku ikut lebur bersama runtuhan kesal bos.
“Iki, lho Lil. Ada WA dari anak lanangku.“ Bos memberikan smartphonenya padaku. Tadinya aku ragu untuk membaca. Ini barang pribadi, kan. Sampai bos menggoyangkan HP dua kali, baru aku ambil. Ya, ampun! Kubaca percakapan bapak-anak itu. Isinya, si anak yang sudah diberi 20 juta sebulan untuk uang saku itu, bilang kurang! Aku ingat sekali waktu belum kerja sama bos, cari kerja sambilan sana-sini. Di Mc. D lah, di kedai foto kopi lah, bantu-bantu warungan lah ... intinya biar kuliahku bisa tercukupi. Lah ini ... tinggal minta bapaknya, si bos, katanya masih kurang?! Kalau tadi bos tanya beliau kurang apa ... yang kurang itu anaknya. Reza kurang ajar, maksudku.
“Aku kudu piye, Lil?“ Bos membenturkan kepalanya di jendela mobil. Sopir sempat mengerem mobil secara mendadak dan mengeluarkan bunyi gesekan mobil dan aspal yang mendecit, memekakkan telinga. Semua ikut panik. Segera kukomando supir untuk meneruskan perjalanan. Untung tak ada polisi Jerman yang terkenal tak bisa dikorupsi itu dan sedang tak ada mobil yang lewat. Aman. Aku terangkan dalam bahasa Jerman bahwa bosku sedang emosi jiwa. Untung ia mengangguk dan melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuan yang kusebutkan di bandara tadi.
“Gimana ya, pak? Kita ada di sini. Kalau anak bapak sudah mau ambil uang cash dari laci bapak di rumah, Ibu ada di London. Kita nggak bisa ngapai-ngapain, pak. Maaf, saya nggak ada ide untuk masalah ini, pak.“ Ingin rasanya kupeluk pak bos dan mengelus punggungnya, tapi aku takut dibilang nggak tahu diri dan kuwalat, berani-beraninya pegang-pegang bos dan suami orang! Nggak semua sekretaris punya affair sama bosnya, kan?
Kontak mata tetap kujaga agar tercipta kesan aku amat prihatin dengan kejadian itu dan ingin mendukung pak bos, sepenuh hati.
“Kalau aku mati karena operasi gagal, aku titip Reza ya, Lila. Openana ....“
“Ah, bapaaaak, nggak boleh gitu ah, pak. Bapak masih muda dan tim dokter Jerman pasti sukses. Lagian, belum tentu bapak dulu yang meninggal. Kalau Reza yang mati duluan, bagaimana coba?“
“Ngawur kowe, Lil! Sembrono! Aku mau bunuh diri saja kalau anak ragilku itu mati.“ Pak bos mendelik. Aku takut mata bos menggelinding, jatuh. Aku menunduk.